Sistem merupakan kesatuan elemen-elemen yang berinteraksi secara dinamik dengan tujuan tertentu. Sistem bersifat hirarki yang tersusun dari subsistem-subsistem yang merupakan ssstem tersendiri. Sistem alam termasuk tubuh manusia dan makhluk hidup lain, sistem rekayasa dirancang oleh manusia yang disebut sistem mesin, sistem sosial dan sistem kegiatan serta sistem kepercayaan.
Dalam suatu sistem kepercayaan, orang membayangkan wujud dari dunia yang gaib, termasuk wujud dewa-dewa (theogoni), makhluk-makhluk halus, kekuatan sakti, keadaan ruh-ruh manusia yang telah meninggal, maupun wujud dari bumi dan alam semesta (yang disebut ilmu kosmogoni dan kosmologi). Sistem kepercayaan itu ada yang berupa konsepsi mengenai paham-paham yang terbentuk dalam pikiran para individu penganut suatu agama, tetapi terdapat juga berupa konsepsi-konsepsi serta faham-faham yang dibakukan di dalam dongeng-dongeng serta aturan-aturan. Dongeng-dongeng dan aturan-aturan ini biasanya merupakan kesusasteraan suci yang dianggap keramat (Koentjaraningrat, 2005: 203-204)
Kemurnian aqidah dalam Islam dikenal dengan tauhid. Tauhid berarti keyakinan tentang adanya Allah Yang Maha Esa, yang tidak ada sesuatu pun yang menyamai-Nya dalam zat, sifat atau perbuatan-perbuatan-Nya; yang mengutus para rasul untuk menunjukkan dunia dan umat manusia ke jalan yang benar; yang meminta pertanggungjawaban hamba di kehidupan akhirat dan membalas perbuatan baik atau buruk yang dilakukannya di dunia (Musa, 1988: 45). Melalui pengenalan tauhid, seorang Muslim akan menyadari bahwa Tuhan adalah dimensi yang memungkinkan adanya dimensi-dimensi lain; Dia memberikan arti dan kehidupan kepada setiap sesuatu. Dia serba meliputi; secara harfiah Dia adalah tak terhingga dan hanya Dia sajalah yang tak terhingga. Di dalam kehidupan, setiap sesuatu yang selain-Nya, terlihat tanda keterhinggaannya dan tanda bahwa ia adalah ciptaan Tuhan (Rahman, 1980: 4). Dia adalah pencipta dan pengatur alam semesta serta seluruh kehidupan manusia. Apa pun aktivitas manusia selalu berada dalam pengawasan-Nya dan akan dipertanggung-jawabkan kelak di akhirat nanti di hadapan pengadilan-Nya.
Mengenal Allah adalah keniscayaan dan kewajiban yang paling utama bagi umat Muslim. Menurut kelompok Asy’ariah, instrumen akal manusia hanya mampu mengenal Allah semata. Tetapi, pastilah berasal dari wahyu yang lebih kompatibel ketimbang akal yang serba terbatas dan tumpul tentang keharusan mengenal Allah dalam hal-hal yang tidak sekedar menggunakan pengalaman indrawi dan bersifat eksperimental. Kaum Asya’ri percaya bahwa Al-Qur’an itu adalah firman yang kekal, abadi dan bukan makhluk. Pandangan ini didasarkan pada pemahaman bahwa kalam sebagai salah satu sifat Allah adalah kekal dan abadi. Allah itu transenden, makhluk apa pun tidak ada yang dapat menyerupainya dan melampui segala sesuatu. Hanya sifat-sifat-Nya saja yang mungkin bisa dipakai untuk menggambarkan tentang Allah. Di sisi lain Wahyu sebagai penopang pengetahuan tentang Allah, tetap saja ada keterbatasan, sebab wahyu adalah informasi mentah yang tak mungkin bisa dipahami kecuali melalui akal pikiran. Sementara akal dibatasi dalam mengetahui sesuatu. Kinerja akal tidaklah terbatas, tetapi produk pikiran memiliki keterbatasan serta akan menemukan kebuntuan ketika bersinggungan dengan hal ghaib atau di luar pengalaman materi.
Para nabi adalah individu-individu yang telah ditanamkan Tuhan suatu kemampuan alamiah untuk mampu melepaskan dimensi kemanusiaannya. Suatu kapasitas yang tentu saja khusus hanya dimiliki mereka untuk bisa mengubah kemanusiaan dan spiritualitas manusia menjadi tingkat tertinggi kemalaikatan, sehingga mereka bisa mempelajari semua hal di sana tanpa bantuan organ tubuh fisik. Kemudian mereka membawa kembali apa yang telah mereka pelajari itu ke tingkat kemampuan pemahaman manusia, dengan begitu pengetahuan itu bisa diajarkan kepada manusia. Peristiwa inilah yang kemudian disebut dengan “nubuwwah” (kenabian). Dengan demikian, karena wahyu diperoleh dengan jalan melepaskan diri dari pengaruh dan tuntutan fisik untuk memusatkan perhatian dan mengadakan komunikasi dengan spiritual tertinggi (yakni malaikat) sehingga bisa memahami bagaimana mendefinisikan hal-hal dan tindakan-tindakan yang mengarahkan kepada kebahagiaan dunia akhirat, maka kebenaran yang dibawanya adalah kebenaran dari Tuhan yang terjaga keotentikannya dan harus dijadikan pedoman manusia (diimani). Oleh karena para nabi adalah orang-orang penerima wahyu, maka secara otomatis mereka adalah maksum.
Sepanjang menyangkut kebenaran pesan yang disampaikan, dapat disimpulkan bahwa semua nabi adalah sama dalam satu mata rantai yang berkesinambungan. Aspek eksoterik kenabian menuntun pada ditemukannya beragam kepribadian nabi beserta klaim-klaim kebenaran dan kehadirannya. Sementara aspek esoterik kenabian merunut pada cara pandang nilai-nilai yang bersifat abadi tidak hanya menekankan aspek ilahiah dan ketakterhinggaan (keajaiban) yang menyertainya, namun juga aspek kemanusiaan yang ditandai dengan keseimbangan (ekuilibrium) nilai-nilai dalam kehidupan di tengah manusia dan kefanaan di hadapan Yang Maha Esa. Sosok kenabian yang ideal pada diri nabi Umat Islam yaitu Nabi Muhammad SAW yang bercirikan keseimbangan nilai kemurahan hati, kedamaian, dan kekuatan, selanjutnya juga antara nilai kemuliaan hati, kejujuran, dan ketenangan hati. Seorang nabi adalah manusia primordial karena keterkaitannya dengan intelek Ilahi. Nabi juga adalah manusia sempurna, karena eksistensinya yang mewujudkan keutuhan kebajikan di dunia secara universal sesuai kehendak-Nya.
Agama berada pada wilayah Ketuhanan. Tapi agama sebagai ajaran langit yang masuk pada realitas bumi disampaikan dengan bahasa manusia, kemudian mengakar dalam aktivitas kehidupan manusia hingga saat ini dengan berbagai dinamika dan pasang-surutnya, yang biasa disebut dengan cara beragama.
Agama bila ditinjau secara deskriptif adalah sebagai suatu keyakinan manusia terhadap kekuatan yang melampaui dirinya, kemana ia mencari pemuas kebutuhan emosional dan mendapat ketergantungan hidup yang diekspresikan dalam bentuk penyembahan dan pengabdian. (Ahmad Norman P, Metodology Study Agama)
Agama sebagai refleksi atas cara beragama tidak hanya terbatas pada kepercayaan saja, akan tetapi merefleksikan dalam perwujudan-perwujudan tindakan kolektivitas umat (keagamaan). Aktivitas keagamaan suatu umat beragama bukan hanya relasi dengan Allah swt. namun juga meliputi relasi dengan sesama makhluk.
Keagamaan muncul dari adanya pengalaman keagamaan. Pada dasarnya agama itu lahir dan timbul dalam jiwa manusia, merupakan kebutuhan rohani yang tidak bisa diabaikan keberadaannya, karena hal tersebut dapat menimbulkan adanya perasaan yang menjadi pendorong utama timbulnya rasa keberagamaan.
Bentuk-bentuk aktivitas
keagamaan dapat diklasifikasikan menjadi tiga
bagian, masing-masing bagian memiliki kriteria tersendiri;
Ibadah Person, suatu aktivitas yang pelaksanaannya tidak perlu melibatkan orang lain, melainkan semata-mata terganrtung kepada kesediaan yang bersangkutan sebagai makhluk yang bebas, yang termasuk dalam ibadah ini seperti shalat, puasa dan sebagainya.
Ibadah Antarperson, suatu amaliah yang pelaksanaannya tergantung pada prakarsa pihak yang bersangkutan selaku hamba Allah yang otonom, misalnya pernikahan.
Ibadah Sosial, kegiatan interaktif antara seorang individu dengan pihak lain yang dibarengi dengan kesadaran diri sebagai hamba Allah.
Pikiran memang bisa menghasilkan hal-hal abstak, ia bisa berpikir tentang wujud yang tidak memiliki preferensinya dengan realitas. Seperti konsep, angka dan abstraksi-abstraksi realitas, tetapi pada saat yang sama akal tidak mampu masuk ke dimensi lain selain realitas empiris yang memiliki akar-akar inderawi. Hal ini sudah cukup dalam menggambarkan betapa pikiran sangat terbatas dan tidak akan mampu mengetahui Allah kecuali ditopang oleh wahyu.
Meminjam istilahnya Nawal El Saadawi, “Tuhan tidak keluar dari percetakan.” Artinya, kita tidak boleh berhenti belajar, banyak ilmu dan pengetahuan yang bisa kita pahami, di manapun dan dari manapun, agar kita diberikan kemampuan oleh Allah untuk mencerna fenomena yang terjadi di dunia ini dengan baik dan bijaksana.. Wallahu a’lam bisshawab