9.30.2021

JEJAK ULAMA DAN SANTRI DALAM PERTEMPURAN BOJONGKOKOSAN 1945

oleh : Rahmat Fauzi, S.IP, S.Pd


Abstraksi

Menjelang akhir masa pendudukan Jepang di Nusantara, tak terkecuali di Sukabumi, kalangan ulama turut berperan serta aktif dalam persiapan kemerdekaan Republik Indonesia. Tokoh ulama Sukabumi yang paling menonjol saat itu adalah KH Ahmad Sanusi dan Mr Sjamsoedin -yang juga merupakan santri dari KH Ahmad Sanusi. Keduanya terpilih menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) dan turut mempersiapkan kemerdekaan Indonesia bersama para pemimpin nasional lainnya.

Saat kabar Jepang bertekuk lutut kepada Sekutu dalam Perang Pasifik tersiar ke seluruh penjuru Nusantara disusul oleh kumandang Proklamasi Sukarno-Hatta, Sukabumi tak ketinggalan merayakan euforia-nya. Tercatat Masjid Agung Sukabumi menjadi salah satu tempat yang pertama kali mengibarkan bendera Merah Putih menyambut proklamasi kemerdekaan. Itu secara tidak langsung juga menunjukkan dukungan para ulama Sukabumi atas berdirinya Republik.

Para ulama juga menggaungkan perebutan kekuasaan di Sukabumi dari pasukan pendudukan Jepang. Bersama dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang dibentuk Pemerintah Republik Indonesia, para ulama Sukabumi memacu semangat nasionalisme untuk merebut kekuasaan dari pasukan pendudukan Jepang di Sukabumi.

Bahkan seorang ulama, KH Atjoen Basjoeni, terjun langsung menjadi bagian dari BKR. Beliau diangkat menjadi ketua BKR Sukabumi. Sayangnya beliau kemudian diculik dan dibunuh orang-orang tak dikenal saat ditugaskan ke Yogyakarta.

Dari luar BKR, para ulama dan santri Sukabumi yang tergabung dalam barisan laskar Hisbullah dan Sabilillah menjadi komponen penting dalam Perang Konvoi (9-12 Desember 1945) yang sukses menghancurkan mental serdadu Sekutu yang merupakan pemenang Perang Dunia II. Perang Konvoi yang terjadi di sepanjang Bogor-Sukabumi, dan salah satu fragmen pertempuran paling heroiknya, pertempuran Bojongkokosan, merupakan puncak dari keseriusan para ulama Sukabumi mendukung kemerdekaan dan berdirinya Republik. 

Peran Penting KH Ahmad Sanusi

Sebenarnya, peran penting KH Ahmad Sanusi berangkat jauh sebelum peristiwa Perang Konvoi, tepatnya di masa kolonial Hindia Belanda. Pemerintah Kolonial menjadikan wilayah Sukabumi sebagai daerah perkebunan. Dampaknya masyarakat di daerah Sukabumi terbagi ke dalam dua kelompok sosial, yaitu masyarakat yang hidup di daerah perkebunan dengan struktur birokrasi perkebunan dan masyarakat di luar daerah perkebunan.

Lebih lanjut di luar wilayah onderneming (manajemen) perkebunan, terdapat kelompok sosial yang kepemimpinannya dipegang oleh tokoh agama, yaitu kyai atau ajengan. Selain sebagai tokoh agama, kyai atau ajengan juga merupakan tokoh politik dan pemimpin kharismatik yang senantiasa memberikan perlindungan kepada masyarakat.

Dalam konteks itulah KH. Ahmad Sanusi muncul menjadi salah satu tokoh ulama paling dihormati di Sukabumi. Masyarakat Sukabumi menjadi beliau sebagai simbol gerakan umat Islam dalam menentang kolonialisme. KH Ahmad Sanusi memimpin pesantren Gunung Puyuh dan oleh karenanya dikenal juga dengan panggilan Ajengan Gunung Puyuh.

Kedekatan KH Ahmad Sanusi dan KH Muhammad Hasan Basri

KH Ahmad Sanusi menjadikan pesantrennya sebagai area perlawanan diam-diam dengan mengajarkan semangat jihad kepada para santri. Apa yang dilakukan KH Ahmad Sanusi juga dilakukan oleh KH Hasan Basri di pesantren Al Hasaniyah yang didirikan tahun 1870 di Babakan, Kecamatan Cicurug. Rupanya kedua ulama kharismatik tersebut mempunyai kedekatan terutama dalam memperjuangkan akidah Islam dan melawan penjajahan.

Tercatat dalam sejarah beberapa peristiwa yang menggambarkan kedekatan kedua ulama. Dalam bukunya berjudul K.H. Ahmad Sanusi: Berjuang dari Pesantren Hingga Parlemen, Sulasman menuliskan “…pada peristiwa Sarekat Islam Afdeling B, KH Ahmad Sanusi bersama dengan KH Muhammad Hasan Basri dari pondok pesantren Babakan, Cicurug ditangkap oleh pemerintah kolonial.”

Peristiwa “Sarekat Islam (SI) Afdeling B” merujuk pada peristiwa penolakan KH Ahmad Sanusi dan KH Muhammad Hasan Basri perihal pengelolaan zakat fitrah oleh pemerintah kolonial. Dari data ini menunjukkan kedua ulama aktif di SI dan mempunyai visi yang sama perihal perjuangan akidah.

Kedekatan lainnya antara kedua ulama adalah ketika pada tahun 1931, KH Ahmad Sanusi ditangkap Belanda dan dibuang ke Tanah Tinggi, Batavia. Menurut Irman Firmansyah, aktivis sejarawan Sukabumi, KH Ahmad Sanusi mengalihkan tampuk pimpinan SI kepada KH Muhammad Hasan Basri. Dalam bukunya berjudul Sukabumi The Untold Story, Irman juga menampilkan bukti sejarah bahwa di tahun yang sama, 1931, saat KH Ahmad Sanusi dibuang ke Tanah Tinggi, para ulama pengikut beliau berkumpul di Babakan dan mengadakan rapat yang dipimpin KH Muhammad Hasan Basri yang menghasilkan berdirinya organisasi “Al-Ittihadiyatul Islamiyah” (AII).

Salah satu kegiatan AII di bidang ekonomi adalah mendatangkan barang-barang murah dari Jepang untuk mengisi koperasi-koperasi yang dikelola AII. Setelah oraganisasi AII diganti dengan nama baru Persatuan Ummat Islam Indonesia (PUII) pada tahun 1943.

Secara pribadi, KH M. Hasan Basri sendiri dikenal karismatik dan disegani kawan maupun lawan. Beliau dijuluki Belanda sebagai “Bintang Sembilan” setelah dalam sebuah perdebatan tentang pendapatnya yang menyatakan bahwa di setiap keberadaan air maka akan ada ikan. Seorang pejabat Belanda lalu menantangnya utuk menunjukan ikan di dalam buah kelapa. Uniknya saat buah kelapa dibuka ternyata ada ikan kecil (Sunda: beunteur).

Jejak Ulama dan Santri dalam Pertempuran Bojongkokosan

Menurut Komandan Resimen TKR Sukabumi, Letkol Eddie Soekardi, jika Bandung sudah dikuasai Sekutu, maka Sukabumi akan dikuasai pula. Hal ini, menjadi alasan bagi masyarakat Sukabumi untuk tidak berdiam diri membiarkan konvoi Sekutu untuk melewati kota itu. Oleh karena itu, untuk menghambat perjalanan konvoi Sekutu dari Jakarta menuju Bandung, para pejuang Sukabumi yang tediri dari tentara, rakyat, dan badan-badan perjuangan, melakukan penghadangan disepanjang jalan yang akan dilalui oleh konvoi Sekutu. Peristiwa itu dikenal dengan Perang Konvoi dan salah satu pertempuran yang paling heroik terjadi di Bojongkokosan (Parungkuda).

Titik penyerangan para pejuang Sukabumi oleh komandan Resimen disesuaikan dengan dislokasi pasukan. Dalam taktik itu menurut komandan resimen yang pertama akan menghadapi Sekutu, adalah penyerang yang berdislokasi di pos penyerangan Bojongkokosan. Konsolidasi dengan badan-badan perjuangan Hisbullah, Fisabilillah dan lain-lainnya terus dilakukan.

Komando berada di bawah Komandan Resimen III TKR Sukabumi Letnan Kolonel Eddie Soekardi dan para pemimpin badan perjuangan seperti Mr. Syamsudin pimpinan Hisbullah yang sekaligus merangkap Walikota Praja Sukabumi. Ada juga Barisan Islam Indonesia pimpinan KH. Ahmad Sanusi dan Pimpinan Pesantren Babakan Cicurug KHR. M. Hasan Basri dan pesantren-pesantren lainnya seperti pesantren yang berada di sekitar lokasi pertempuran Bojongkokosan di antaranya pesantren pimpinan KH. Jaswadi, Pesantren Pimpinan KH. Ahyar Parungkuda, Pesantren Pimpinan KH. Akbar, KH. Syafei Pangkalan, KH. Badri Cisaat, KH. Syadzili Caringin.

Para Kyai dengan kharismanya telah mendorong para santrinya dan masyarakat dari daerah di sekitar Bojongkokosan seperti Parungkuda, Kembang Kuning, Cicurug, Depok, Tapos, Bojong, Cipanengah, Nangela, Pasirmuncang, Pasir Doton serta daerah lainnya untuk maju ke garis depan medan pertempuran.

Sebelum maju ke medan perang, mereka dimandikan oleh Kyai di kolam yang airnya telah diberikan do’a-do’a. begitu pula dengan senjata-senjata lainnya mereka mandikan dengan air do’a. Dengan diringi gema do’a para santri bersama masyarakat berjalan untuk menuju ke medan perang. Di medan pertempuran mereka bergabung dengan kekuatan lainnya dengan tetap dipimpin oleh Kyai. Para Kyai tersebut bahkan tak hanya memimpin perlawanan, tapi juga aktif bergerilya menyusun strategi, bahkan perang fisik secara langsung dengan pasukan musuh.

Para Kyai dan Santri sadar bahwa membela tanah air dari penindasan adalah bagian dari perjuangan Islam, yang nilai maslahatnya akan dirasakan oleh jutaan orang. Terlebih saat Resolusi Jihad digelorakan oleh Hadratus Syekh KH. M. Hasyim Asy’ari pada tanggal 22 Oktober 1945, bersama para ulama dan kaum santri seantero Jawa-Madura, yang mendorong terjadinya perang besar di Surabaya pada tanggal 10 November 1945 dan perang Bojongkokosan 9-12 Desember 1945 sampai akhirnya terjadi peristiwa Bandung Lautan Api. Semua itu dilakukan demi membela kedaulatan Negara dari ancaman pasukan gabungan Inggris dan Belanda.

Dalam catatan sejarah yang lain, dikatakan bahwa diantara tokoh penting yang turut mensukseskan pertempuran di Surabaya dan Bojongkokosan adalah al-maghfurllah Kyai Amin Sepuh Babakan Ciwaringin, Kyai Abas Buntet, Kyai Hasan Basri Babakan Cicurug dan Kyai Ahmad Sanusi Gunung Puyuh, yang oleh Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari disebut sebagai “Singa dari Jawa Barat”.

Metode Kajian

Sebagai sebuah ilmu, sejarah memiliki metode penelitian agar dapat dipertanggunjawabkan dan diukur kebenarannya. Dalam buku Metodologi Sejarah (2007) karya Helius Sjamsudin, metode merupakan suatu prosedur, proses, atau teknik yang sistematis dalam penyidikan suatu disiplin ilmu tertentu untuk mendapatkan obyek (bahan-bahan) yang diteliti.

Secara umum, metode penelitian sejarah dilakukan dengan tujuan menambah wawasan tentang apa yang telah terjadi di masa lalu. Harapannya agar kita dapat belajar dari kegagalan maupun kesuksesan di masa lalu, membuat prediksi masa sekarang dan masa yang akan datang, serta menguji hipotesis tentang hubungan sosial dan tren masa lampau dan saat ini.

Seperti namanya, sumber ini berisi keterangan tentang peristiwa sejarah dalam bentuk tulisan. Sumber tulisan berasal dari catatan-catatan mengenai suatu kejadian di masa lampau yang sampai saat ini masih dapat ditemukan. Beberapa contoh sumber tulisan dalam penelitian sejarah yaitu dokumen, prasasti, piagam, naskah, surat kabar, dan laporan.

Penutup

Hingga pengakuan kedaulatan Republik Indonesia 27 Desember 1949, para ulama dan santri terus aktif melakukan pertempuran yang menganggu pasukan Belanda di Sukabumi yang dilakukan oleh KH Dadun Abdul Qohar, KH Mustafa Bisri Cantayan dan Habib Syekh Salim Al Attas Tipar.

Masih banyak ulama, ustad maupun santri lainnya yang mendakwahkan Islam dan turut berjuang mempertahankan negeri ini dengan darahnya. Mereka berhasil menggelorakan semangat belajar dan juga semangat jihad melawan penjajahan.

Setidaknya sebagian kisah yang disampaikan memudahkan kita untuk lebih memahami jejak perjuangan umat Islam di Sukabumi ini. Selain itu bisa menjadi pelajaran bagi generasi sekarang untuk mempertahankan agama dan tetap menjaga serta mencintai negeri kita ini.

Seperti yang disampaikan Allah SWT melalui Surat Yusuf 111, “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang berakal…”.

Daftar Rujukan

[1] A. Saifuddin, Haji Ahmad Sanusi: Ulama dan Pejuang, Al-Qalam, No 53/X/1995

[2] Irman Firmansyah, Sukabumi The Untodl Story (SUkabumiL Sukaboemi Heritages, 2012)

[3] Munandi Saleh, K.H. Ahmad Sanusi: Pemikiran dan Perjuangannya di Pergolakan Nasional (Tangerang: Jelajah Nusa, 2014)

[4] Sulasman, K.H. Ahmad Sanusi: Berjuang dari Pesantren Hingga Parlemen (Bandung: PW PUI Jawa Barat, 2007)

[5] Sulasman, Sukabumi Masa Revolusi 1945-1946, (Disertasi, Depok: Universitas Indonesia, 2007)

Baca Selengkapnya...

8.15.2021

KEMERDEKAAN


Kemerdekaan
berasal dari kata merdeka yang artinya bebas atau terbebas dari belenggu. Dalam bahasa Arab disebut hurriyah atau istiqlal. Kata Istiqlal menjadi begitu populer di Indonesia seteleh Presiden Soekarno dengan usulan Menteri Agama KH. Wahid Hasyim menggunakannya untuk nama Masjid Nasional yang sengaja dibangun sebagai monumen kemerdekaan Indonesia, Masjid Istiqlal, Masjid Kemerdekaan. Dalam Islam, nilai esensial kemerdekaan terkait erat dengan kemartabatan manusia yang ditentukan oleh dua hal : Iman dan amal sholeh, keduanya mempersyaratkan adanya kemerdekaan. Pertama Iman, tidak ada iman yang pernah hadir dalam keterpaksaan. Al-Qur’an menegaskan hal itu, antara lain

 وَلَوْ شَاۤءَ رَبُّكَ لَاٰمَنَ مَنْ فِى الْاَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيْعًاۗ اَفَاَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتّٰى يَكُوْنُوْا مُؤْمِنِيْنَ 

dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ?

 لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ قَدْ تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيّ 

tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. 

Kedua Amal, baik berupa ucapan atau perbuatan. Amal bisa bernilai baik atau buruk jika muncul dari kemerdekaan memilih (ghoir mukroh) yang ditegaskan dalam niat. Amal yang lahir dari keterpaksaan tidak bernilai apa-apa. Rasululloh SAW, menegaskan : Sesungguhnya setiap amal tergantung dari niat, dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Prinsip kemerdekaan juga sejalan dengan konsep fiqih bahwa kemerdekaan merupakan syarat taklif (yaitu memikul perintah/larangan). Seperti diketahui, inti pesan Islam baik dalam Al-qur’an atau Hadits adalah taklif untuk berbuat kebaikan dan menjauhi keburukan, berbuat yang terpuji dan membuang yang tercela. Maka secara implisit, Islam menghendaki setiap manusia dalam keadaan merdeka untuk memilih, bukan sebagai mukroh, terbelenggu, berada dalam ancaman atau tekanan pihak lain. Kemerdekaan adalah salah satu syarat mutlak bagi keberadaan manusia sebagai Al-Mukallaf (pemikul perintah dan larangan moral dari Allah SWT). Tanpa mandat ini (sekaligus dengan kemerdekaannya), maka manusia hanya setara dengan binatang. Maka salah satu amal sholeh dengan keutamaan tinggi adalah memberikan kemerdekaan manusia yang terjajah, tertindas dalam belenggu oleh kemauan pihak lain :

 وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا الْعَقَبَةُ, فَكُّ رَقَبَةٍۙ, اَوْ اِطْعَامٌ فِيْ يَوْمٍ ذِيْ مَسْغَبَةٍۙ, يَّتِيْمًا ذَا مَقْرَبَةٍۙ, اَوْ مِسْكِيْنًا ذَا مَتْرَبَةٍۗ 

tahukah kamu Apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, atau memberi Makan pada hari kelaparan, (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau kepada orang miskin yang sangat fakir. 

Sementara itu, manusia bukanlah semata-mata makhluk individual melainkan juga makhluk sosial. Artinya, kemerdekaan manusia individu tanpa kemerdekaan kolektifnya sebagai komunitas atau bangsa akan sangat rapuh dan bisa kehilangan signifikansinya. Kemerdekaan suatu bangsa mutlak bagi kemerdekaan manusia individu-individunya. Semoga kita semua menjadi orang-orang merdeka yang senantiasa men-tauhidkankan Allah SWT, dengan semangat kemerdekaan, marilah kita mensyukuri kemerdekaan ini dengan mempertahankan keutuhan jati diri dan bangsa ini dengan nilai-nilai akhlaq yang luhur dan nilai-nilai Islam yang tinggi, hanya dengan itu, kita bisa meraih kejayaan di masa yang akan datang. Mudah-mudahan Allah SWT berkenan meneruskan sejarah bangsa ini sehingga bangsa ini akan menjadi sebuah “Baldatun Thayyibatun Warabbun Ghafuur“ sebuah negara dan bangsa yang meraih maghfirah Allah SWT dan dalam waktu yang bersamaan juga meraih kesejahteraan dan kedamaian selama-lamanya. Amin

Baca Selengkapnya...

8.03.2021

PROKES HATI DAN AKAL FIKIRAN


Keputusan Pemerintah dari PSBB sampai PPKM serta keputusan untuk mentaati Protokol Kesehatan 5M 1) Memakai Masker, 2) Mencuci Tangan, 3) Menjaga Jarak, 4) Menjauhi Kerumunan dan 5) Membatasi Mobilitas dan Interaksi, bahkan program vaksinasi terus dilaksanakan, menunjukkan masih menjadi warning dan perhatian kita bersama dalam rangka tetap menjaga dan memutus mata rantai penularan virus Corona. Bagi kita, ummat yang beriman, yang meyakini bahwa tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang, selayaknya meyakini bahwa kesehatan itu tidak hanya sehat jasmani saja, akan tetapi hati, jiwa serta akal pikiran pun harus terbebas dari nuktah, kotoran, dan penyakit yang akan menggerogoti kesehatan manusia. Untuk itu, sudah seharusnya, kita pun menerapkan Protokol Kesehatan hati, jiwa dan akal fikiran. Ada 3 indikator utama yang menjadikan hati yang bersih, kesucian jiwa dan akal fikiran, yaitu :

Pertama : Berwudlu, Nabi bersabda :

 إِنَّ أُمَّتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ هِيَ الْغُرُّ الْمُحَجَّلُونَ مِنْ أَثَرِ الْوُضُوءِ مَنْ اسْتَطَاعَ أَنْ يُطِيلَ غُرَّتَهُ فَلْيَفْعَلْ 

Sesungguhnya umatku pada hari Kiamat adalah al-ghurr al-muhajjalun karena bekasnya wudhu. Siapa saja yang mampu memanjangkan ghurr-nya maka lakukanlah! (HR. Ahmad). Para ulama mendefinisikan al-ghurr al-muhajjalun adalah cahaya putih pada bagian kening, tangan dan kaki yang biasa dibasuh saat berwudlu. Menurut Ulama hadits, hikmah dari hadits tersebut, bahwa berwudlu, badan menjadi sehat terbebas dari penyakit, bersihnya akal fikiran serta mampu menaikkan derajat, dikarenakan ada pacaran sinar cahaya Al-ghurr Al-Muhajjalun. Untuk itu seorang mukmin agar selalu membiasakan berwudlu dalam segala aktifitas sehari-hari, akan tidur pun nabi menganjurkan agar berwudlu. Kebersihan anggota badan sudah sejak lama menjadi ajaran Islam, tidak sekedar mencuci tangan yang bersih, akan tetapi menggapai kesucian diri. 

Kedua, Mengunci Lisan

Penggunaan masker sebagai alat penutup mulut menurut kedokteran menyebutkan bahwa fungsinya untuk memblokade partikel sarat virus yang dipancarkan dari mulut, terlebih ketika dalam situasi pandemi saat ini. Akan tetapi ada lagi partikel yang lebih berbahaya mengancam keselamatan kehidupan manusia, yaitu partikel lisan yang dipancarkan oleh mulut pula, Nabi Muhammad SAW telah memperingatkan kita tentang bahayanya lisan, dalam hadits dikatakan 

 إذا أصبح ابنُ آدمَ ؛ فإنَّ الأعضاءَ كلَّها تكفِّر اللسانَ، فتقول : اتقِ اللهَ فينا ؛ فإنما نحن بك ؛ فإن استقمت استقمْنا وإنِ اعوججتَ اعوججنا 

Jika manusia berada di waktu pagi, maka semua anggota tubuhya selalu memperingatkan lisan. Mereka berkata, “ Wahai lisan, bertakwalah kepada Allah dalam urusan kami karena sesungguhnya keselamatan kami tergantung pada dirimu, Jika kamu bersikap lurus, maka kami pun akan lurus. Namun jika engkau menyimpang, maka kamipun akan menyimpang.” Dalam hadist lain disebutkan

 سلامة الإنسان في حفظ اللسان

Keselamatan, kesejahteraan, serta kedamaian manusia tergantung sampai sejauh mana menjaga dan mengunci lisan kita dari segala ucapan, kata dan kalimat yang kita rangkai. Lisan sangatlah ringan berbuat, ia bisa begitu mudah untuk digerakkan namun begitu sulit untuk dikendalikan. bahaya lisan sangatlah besar dibanding anggota tubuh lainnya. Perbuatan dosa yang merajalela, kadang terjadi tanpa disadari, disebabkan perbuatan lisan. Seperti ghibah, hasud, dengki, namimah, terlebih di zaman digitalisasi saat ini, media elektronik ataupun media sosial kerap kali mempublish ujaran kebencian, cacian, fitnah, berita bohong ataupun semacamnya yang beredar di dunia maya. Begitu mudahnya hal-hal demikian keluar dari seseorang, seakan kita lupa bahwa setiap apa yang kita perbuat pasti dicatat oleh malaikat dan akan membahayakan manusia seluruhnya. Maka, kita tidak cukup sekedar masker penutup mulut, lisan pun harus kita tutup, kita kunci dengan masker keimanan dan ketaqwaan. 

Ketiga, Menjaga Jarak Amaliah. 

Amaliah yang berarti perbuatan merupakan perwujudan dari suatu tindakan dan perilaku. Menjaga jarak yang pertama; Menjaga jarak dari perbuatan apa? Yaitu, menjaga jarak dari tindakan yang tidak baik dan tidak benar. Menjaga jarak dari perbuatan fakhsya` dan munkar. Menjaga jarak dari pribadi yang jahat dan menyengsarakan orang lain. Yang kedua menjaga jarak dari perbuatan siapa? Kita sering dengar syair pujian : Tombo Ati yang kelima adalah “wong kang sholeh kumpulono”; (berkumpullah bersama orang sholeh), ini membuktikan bahwa islam secara konsisten mengajarkan tentang siapa yang perlu dan layak dijadikan teman, sahabat, sampai pada memilih Guru, Ustadz atau Kyai. Yang ketiga, menjaga jarak dari tempat apa? Setiap aktifitas, kita dituntut untuk belajar, bekerja, dan beribadah ikhlas, Mobilitas yang kita tempuh selama ini, apakah hanya menuju tempat kerja, berwisata, atau pergi belanja, seperti apa ketika kita menuju ke masjid, sholat berjamaah, bermunajat, serta mengekspresikan Harapan dan Takut kepada Allah, dan mencurahkan Kecintaan dan Kerinduan kepada Allah SWT., seberapa lama, waktu kita dalam ruang majlis ilmu, menimba ilmu, berjumpa dengan seorang ulama sebagai pewaris Nabi. Ataukah mobilitasnya menuju tempat kemaksiatan, kemunkaran, dan kemunafikan. Untuk itulah segala aktifitas perbuatan, selayaknya kita ukur, kita takar, kita timbang, sehingga perbuatan itu tidak menyimpang dari ajaran Islam, sesuai dengan batas-batas syari’at dan tentunya pula perbuatan tersebut disertai dengan kualitas ketulusan, kualitas kekhusyuan, juga kualitas kesucian.

Dengan demikian, saatnya kita melakukan protokol kesehatan yang paripurna, kita tunaikan prokes 5M, sekaligus tunaikan pula prokes Membiasakan Berwudlu, Mengunci Lisan, dan Menjaga Jarak Amaliyah. Insya Allah, setelah itu akan sampai kepada empat keadaan, yaitu : pertama, Qolbun Salim; hati yang bersih dari penyakit hati, kedua, Aqlun Salim; fikiran yang sempurna, ketiga Jismun salim; jasad, tubuh yang sehat, keempat, Fahmun Salim, menghasilkan ilmu yang manfaat dan membangun peradaban manusia. Dengan begitu, dalam kehidupan ini, kita menjadi bersih, tubuh kita sehat dan kuat, menjalani akhlak mulia, dan menggapai ridha Allah SWT.

Baca Selengkapnya...
 

Kunjungan

Aktifitas

Uzy Ibni Muhammad Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template