9.30.2021

JEJAK ULAMA DAN SANTRI DALAM PERTEMPURAN BOJONGKOKOSAN 1945

oleh : Rahmat Fauzi, S.IP, S.Pd


Abstraksi

Menjelang akhir masa pendudukan Jepang di Nusantara, tak terkecuali di Sukabumi, kalangan ulama turut berperan serta aktif dalam persiapan kemerdekaan Republik Indonesia. Tokoh ulama Sukabumi yang paling menonjol saat itu adalah KH Ahmad Sanusi dan Mr Sjamsoedin -yang juga merupakan santri dari KH Ahmad Sanusi. Keduanya terpilih menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) dan turut mempersiapkan kemerdekaan Indonesia bersama para pemimpin nasional lainnya.

Saat kabar Jepang bertekuk lutut kepada Sekutu dalam Perang Pasifik tersiar ke seluruh penjuru Nusantara disusul oleh kumandang Proklamasi Sukarno-Hatta, Sukabumi tak ketinggalan merayakan euforia-nya. Tercatat Masjid Agung Sukabumi menjadi salah satu tempat yang pertama kali mengibarkan bendera Merah Putih menyambut proklamasi kemerdekaan. Itu secara tidak langsung juga menunjukkan dukungan para ulama Sukabumi atas berdirinya Republik.

Para ulama juga menggaungkan perebutan kekuasaan di Sukabumi dari pasukan pendudukan Jepang. Bersama dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang dibentuk Pemerintah Republik Indonesia, para ulama Sukabumi memacu semangat nasionalisme untuk merebut kekuasaan dari pasukan pendudukan Jepang di Sukabumi.

Bahkan seorang ulama, KH Atjoen Basjoeni, terjun langsung menjadi bagian dari BKR. Beliau diangkat menjadi ketua BKR Sukabumi. Sayangnya beliau kemudian diculik dan dibunuh orang-orang tak dikenal saat ditugaskan ke Yogyakarta.

Dari luar BKR, para ulama dan santri Sukabumi yang tergabung dalam barisan laskar Hisbullah dan Sabilillah menjadi komponen penting dalam Perang Konvoi (9-12 Desember 1945) yang sukses menghancurkan mental serdadu Sekutu yang merupakan pemenang Perang Dunia II. Perang Konvoi yang terjadi di sepanjang Bogor-Sukabumi, dan salah satu fragmen pertempuran paling heroiknya, pertempuran Bojongkokosan, merupakan puncak dari keseriusan para ulama Sukabumi mendukung kemerdekaan dan berdirinya Republik. 

Peran Penting KH Ahmad Sanusi

Sebenarnya, peran penting KH Ahmad Sanusi berangkat jauh sebelum peristiwa Perang Konvoi, tepatnya di masa kolonial Hindia Belanda. Pemerintah Kolonial menjadikan wilayah Sukabumi sebagai daerah perkebunan. Dampaknya masyarakat di daerah Sukabumi terbagi ke dalam dua kelompok sosial, yaitu masyarakat yang hidup di daerah perkebunan dengan struktur birokrasi perkebunan dan masyarakat di luar daerah perkebunan.

Lebih lanjut di luar wilayah onderneming (manajemen) perkebunan, terdapat kelompok sosial yang kepemimpinannya dipegang oleh tokoh agama, yaitu kyai atau ajengan. Selain sebagai tokoh agama, kyai atau ajengan juga merupakan tokoh politik dan pemimpin kharismatik yang senantiasa memberikan perlindungan kepada masyarakat.

Dalam konteks itulah KH. Ahmad Sanusi muncul menjadi salah satu tokoh ulama paling dihormati di Sukabumi. Masyarakat Sukabumi menjadi beliau sebagai simbol gerakan umat Islam dalam menentang kolonialisme. KH Ahmad Sanusi memimpin pesantren Gunung Puyuh dan oleh karenanya dikenal juga dengan panggilan Ajengan Gunung Puyuh.

Kedekatan KH Ahmad Sanusi dan KH Muhammad Hasan Basri

KH Ahmad Sanusi menjadikan pesantrennya sebagai area perlawanan diam-diam dengan mengajarkan semangat jihad kepada para santri. Apa yang dilakukan KH Ahmad Sanusi juga dilakukan oleh KH Hasan Basri di pesantren Al Hasaniyah yang didirikan tahun 1870 di Babakan, Kecamatan Cicurug. Rupanya kedua ulama kharismatik tersebut mempunyai kedekatan terutama dalam memperjuangkan akidah Islam dan melawan penjajahan.

Tercatat dalam sejarah beberapa peristiwa yang menggambarkan kedekatan kedua ulama. Dalam bukunya berjudul K.H. Ahmad Sanusi: Berjuang dari Pesantren Hingga Parlemen, Sulasman menuliskan “…pada peristiwa Sarekat Islam Afdeling B, KH Ahmad Sanusi bersama dengan KH Muhammad Hasan Basri dari pondok pesantren Babakan, Cicurug ditangkap oleh pemerintah kolonial.”

Peristiwa “Sarekat Islam (SI) Afdeling B” merujuk pada peristiwa penolakan KH Ahmad Sanusi dan KH Muhammad Hasan Basri perihal pengelolaan zakat fitrah oleh pemerintah kolonial. Dari data ini menunjukkan kedua ulama aktif di SI dan mempunyai visi yang sama perihal perjuangan akidah.

Kedekatan lainnya antara kedua ulama adalah ketika pada tahun 1931, KH Ahmad Sanusi ditangkap Belanda dan dibuang ke Tanah Tinggi, Batavia. Menurut Irman Firmansyah, aktivis sejarawan Sukabumi, KH Ahmad Sanusi mengalihkan tampuk pimpinan SI kepada KH Muhammad Hasan Basri. Dalam bukunya berjudul Sukabumi The Untold Story, Irman juga menampilkan bukti sejarah bahwa di tahun yang sama, 1931, saat KH Ahmad Sanusi dibuang ke Tanah Tinggi, para ulama pengikut beliau berkumpul di Babakan dan mengadakan rapat yang dipimpin KH Muhammad Hasan Basri yang menghasilkan berdirinya organisasi “Al-Ittihadiyatul Islamiyah” (AII).

Salah satu kegiatan AII di bidang ekonomi adalah mendatangkan barang-barang murah dari Jepang untuk mengisi koperasi-koperasi yang dikelola AII. Setelah oraganisasi AII diganti dengan nama baru Persatuan Ummat Islam Indonesia (PUII) pada tahun 1943.

Secara pribadi, KH M. Hasan Basri sendiri dikenal karismatik dan disegani kawan maupun lawan. Beliau dijuluki Belanda sebagai “Bintang Sembilan” setelah dalam sebuah perdebatan tentang pendapatnya yang menyatakan bahwa di setiap keberadaan air maka akan ada ikan. Seorang pejabat Belanda lalu menantangnya utuk menunjukan ikan di dalam buah kelapa. Uniknya saat buah kelapa dibuka ternyata ada ikan kecil (Sunda: beunteur).

Jejak Ulama dan Santri dalam Pertempuran Bojongkokosan

Menurut Komandan Resimen TKR Sukabumi, Letkol Eddie Soekardi, jika Bandung sudah dikuasai Sekutu, maka Sukabumi akan dikuasai pula. Hal ini, menjadi alasan bagi masyarakat Sukabumi untuk tidak berdiam diri membiarkan konvoi Sekutu untuk melewati kota itu. Oleh karena itu, untuk menghambat perjalanan konvoi Sekutu dari Jakarta menuju Bandung, para pejuang Sukabumi yang tediri dari tentara, rakyat, dan badan-badan perjuangan, melakukan penghadangan disepanjang jalan yang akan dilalui oleh konvoi Sekutu. Peristiwa itu dikenal dengan Perang Konvoi dan salah satu pertempuran yang paling heroik terjadi di Bojongkokosan (Parungkuda).

Titik penyerangan para pejuang Sukabumi oleh komandan Resimen disesuaikan dengan dislokasi pasukan. Dalam taktik itu menurut komandan resimen yang pertama akan menghadapi Sekutu, adalah penyerang yang berdislokasi di pos penyerangan Bojongkokosan. Konsolidasi dengan badan-badan perjuangan Hisbullah, Fisabilillah dan lain-lainnya terus dilakukan.

Komando berada di bawah Komandan Resimen III TKR Sukabumi Letnan Kolonel Eddie Soekardi dan para pemimpin badan perjuangan seperti Mr. Syamsudin pimpinan Hisbullah yang sekaligus merangkap Walikota Praja Sukabumi. Ada juga Barisan Islam Indonesia pimpinan KH. Ahmad Sanusi dan Pimpinan Pesantren Babakan Cicurug KHR. M. Hasan Basri dan pesantren-pesantren lainnya seperti pesantren yang berada di sekitar lokasi pertempuran Bojongkokosan di antaranya pesantren pimpinan KH. Jaswadi, Pesantren Pimpinan KH. Ahyar Parungkuda, Pesantren Pimpinan KH. Akbar, KH. Syafei Pangkalan, KH. Badri Cisaat, KH. Syadzili Caringin.

Para Kyai dengan kharismanya telah mendorong para santrinya dan masyarakat dari daerah di sekitar Bojongkokosan seperti Parungkuda, Kembang Kuning, Cicurug, Depok, Tapos, Bojong, Cipanengah, Nangela, Pasirmuncang, Pasir Doton serta daerah lainnya untuk maju ke garis depan medan pertempuran.

Sebelum maju ke medan perang, mereka dimandikan oleh Kyai di kolam yang airnya telah diberikan do’a-do’a. begitu pula dengan senjata-senjata lainnya mereka mandikan dengan air do’a. Dengan diringi gema do’a para santri bersama masyarakat berjalan untuk menuju ke medan perang. Di medan pertempuran mereka bergabung dengan kekuatan lainnya dengan tetap dipimpin oleh Kyai. Para Kyai tersebut bahkan tak hanya memimpin perlawanan, tapi juga aktif bergerilya menyusun strategi, bahkan perang fisik secara langsung dengan pasukan musuh.

Para Kyai dan Santri sadar bahwa membela tanah air dari penindasan adalah bagian dari perjuangan Islam, yang nilai maslahatnya akan dirasakan oleh jutaan orang. Terlebih saat Resolusi Jihad digelorakan oleh Hadratus Syekh KH. M. Hasyim Asy’ari pada tanggal 22 Oktober 1945, bersama para ulama dan kaum santri seantero Jawa-Madura, yang mendorong terjadinya perang besar di Surabaya pada tanggal 10 November 1945 dan perang Bojongkokosan 9-12 Desember 1945 sampai akhirnya terjadi peristiwa Bandung Lautan Api. Semua itu dilakukan demi membela kedaulatan Negara dari ancaman pasukan gabungan Inggris dan Belanda.

Dalam catatan sejarah yang lain, dikatakan bahwa diantara tokoh penting yang turut mensukseskan pertempuran di Surabaya dan Bojongkokosan adalah al-maghfurllah Kyai Amin Sepuh Babakan Ciwaringin, Kyai Abas Buntet, Kyai Hasan Basri Babakan Cicurug dan Kyai Ahmad Sanusi Gunung Puyuh, yang oleh Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari disebut sebagai “Singa dari Jawa Barat”.

Metode Kajian

Sebagai sebuah ilmu, sejarah memiliki metode penelitian agar dapat dipertanggunjawabkan dan diukur kebenarannya. Dalam buku Metodologi Sejarah (2007) karya Helius Sjamsudin, metode merupakan suatu prosedur, proses, atau teknik yang sistematis dalam penyidikan suatu disiplin ilmu tertentu untuk mendapatkan obyek (bahan-bahan) yang diteliti.

Secara umum, metode penelitian sejarah dilakukan dengan tujuan menambah wawasan tentang apa yang telah terjadi di masa lalu. Harapannya agar kita dapat belajar dari kegagalan maupun kesuksesan di masa lalu, membuat prediksi masa sekarang dan masa yang akan datang, serta menguji hipotesis tentang hubungan sosial dan tren masa lampau dan saat ini.

Seperti namanya, sumber ini berisi keterangan tentang peristiwa sejarah dalam bentuk tulisan. Sumber tulisan berasal dari catatan-catatan mengenai suatu kejadian di masa lampau yang sampai saat ini masih dapat ditemukan. Beberapa contoh sumber tulisan dalam penelitian sejarah yaitu dokumen, prasasti, piagam, naskah, surat kabar, dan laporan.

Penutup

Hingga pengakuan kedaulatan Republik Indonesia 27 Desember 1949, para ulama dan santri terus aktif melakukan pertempuran yang menganggu pasukan Belanda di Sukabumi yang dilakukan oleh KH Dadun Abdul Qohar, KH Mustafa Bisri Cantayan dan Habib Syekh Salim Al Attas Tipar.

Masih banyak ulama, ustad maupun santri lainnya yang mendakwahkan Islam dan turut berjuang mempertahankan negeri ini dengan darahnya. Mereka berhasil menggelorakan semangat belajar dan juga semangat jihad melawan penjajahan.

Setidaknya sebagian kisah yang disampaikan memudahkan kita untuk lebih memahami jejak perjuangan umat Islam di Sukabumi ini. Selain itu bisa menjadi pelajaran bagi generasi sekarang untuk mempertahankan agama dan tetap menjaga serta mencintai negeri kita ini.

Seperti yang disampaikan Allah SWT melalui Surat Yusuf 111, “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang berakal…”.

Daftar Rujukan

[1] A. Saifuddin, Haji Ahmad Sanusi: Ulama dan Pejuang, Al-Qalam, No 53/X/1995

[2] Irman Firmansyah, Sukabumi The Untodl Story (SUkabumiL Sukaboemi Heritages, 2012)

[3] Munandi Saleh, K.H. Ahmad Sanusi: Pemikiran dan Perjuangannya di Pergolakan Nasional (Tangerang: Jelajah Nusa, 2014)

[4] Sulasman, K.H. Ahmad Sanusi: Berjuang dari Pesantren Hingga Parlemen (Bandung: PW PUI Jawa Barat, 2007)

[5] Sulasman, Sukabumi Masa Revolusi 1945-1946, (Disertasi, Depok: Universitas Indonesia, 2007)

Baca Selengkapnya...
 

Kunjungan

Aktifitas

Uzy Ibni Muhammad Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template