1.06.2009

Membangun Komunitas Link Web Indonesia




Ada sebuah Filosofi politik yang mengatakan ”Tidak ada teman dan tidak ada musuh yang abadi, yang ada adalah kepentingan bersama” . Mungkin filosofi ini yang meng-ilhami perushaan IBM bekerja sama dengan komunitas open source untuk menghadapi dominasi Microsoft dalam aplikasi sever.


Ter-inspirasi dari filosofi itu dan dari membaca dan berusaha memahami masalah link building dari posting Darren Rowse di problogger.net-nya (12 Tools and Techniques for Building Relationships with Other Bloggers) juga dari membaca ebook link building secret yg saya temukan , maka saya mencoba menarik kesimpulan intinya dan mencoba membangun ide untuk mengajak para blogger Indonesia bersama-sama menciptakan suatu komunitas online bagi blogger indonesia , untuk saling mengenal dan membangun suatu kerjasama win and win bukan win and lose (menang dan menang bukan menang dan kalah) dalam hal traffic , untuk menghadapi apa? yah boleh kalau di bilang untuk menghadapi web-web full komersil yang memiliki anggaran cukup untuk membeli segala fasilitas mendatangkan traffic.


Yap, ini bicara promosi blog , yang saya rasa lebih efektif di banding sekedar bertukar link lalu memasangnya di sidebar sebagai blogroll, karena umumnya pengunjung blog kita tidak melirik sama sekali link-link dalam blogroll kita.


Oke, yang saya maksud di sini adalah menyebarkan posting saya ini secara berantai, karena posting utama akan paling menjadi perhatian pengunjung blog kita.



Yap ini ajakan suka-rela ,silahkan yang tertarik, dan yang tidak abaikan saja, bagi rekan-rekan senior yang trafficnya sudah tinggi juga silahkan jika ingin berbagi bersama, di bawah ini langkahnya:
1.Buat sebuah posting dengan judul Web Indonesia.
2.Copy-paste seluruh isi posting ini untuk isi posting anda.
3.Pada bagian atas kumpulan kode dalam teks area di atas ,gantilah link url-judul web saya dengan link url-judul web anda , tapi jika anda mau menyertakan link saya di nomor pertama atau kedua sebagai niat berkawan silahkan ,jika tidak juga tidak masalah, ..dan seterusnya akan begitu bagi orang lain yg meng-copy dari web anda, biarkan secara sukarela memasang link kita atau tidak bukan masalah ,karena sasaran konsep ini selain berbagi informasi dan inspirasi juga untuk membentuk komunitas2 sendiri secara berantai, ya ini misi sosial , bukan MLM
4.Setelah itu abadikan link url posting misalnya di letakan di sidebar, supaya kelak gampang di cari.


Tidak usah berpikir berlebihan masalah ini, ini hanya sebuah posting sapaan/ajakan kepada sesama blogger Indonesia untuk melakukan pendekatan dan berbagi filosofi serta informasi supaya sama-sama maju, perduli ,mengurangi sifat kompetisi yang saling mengalahkan dan mengakali yang lain. Dan dalam rangka menyebarkan budaya ngeblog, saling mengenal dan membantu traffic bagi rekan2 pemula . bukankah berbagi posting lebih merupakan pendekatan efektif dan informatif di banding sekedar tukar link?


Dan nilai informasi lain sekalian ngajarin pemula bikin kotak scrol/teks area dia atas, saya masih sering di tanya masalah ini …ya kan :D


Jika berjalan lancar, saya rasa cara promosi ini tidak kalah efektif di banding berburu link dan mencari RSS submissions sebanyak banyaknya dengan melelahkan, bahkan RSS atau tukar link banyak kemungkinan link anda akan terhapus karena banyak sebab, tapi posting secara umum akan tetap ada sampai kapanpun .


Hasil dari copy-paste dan penyebaran posting ini seterusnya adalah persis seperti isi posting ini dengan daftar link di bawah logo Web Indonesia bisa semakin bertambah. tergantung kesadaran masing-masing dalam membentuk komunitas-komunitas yang positif.





Baca Selengkapnya...

1.04.2009

Senyum ya.....

Dari: endaryono612
Topik: [forumgangga] Senyum ya....!!
Kepada: forumgangga@ yahoogroups. com h_fiedho@yahoo.com
Tanggal: Senin, 10 November, 2008, 11:27 PM

Kisah di bawah ini adalah kisah yang saya dapat dari milis alumni
Jerman, atau warga Indonesia yg bermukim atau pernah bermukim di sana.
Demikian layak untuk dibaca beberapa menit, dan direnungkan seumur hidup.

Saya adalah ibu dari tiga orang anak dan baru saja menyelesaikan
kuliah saya. Kelas terakhir yang harus saya ambil adalah Sosiologi.
Sang Dosen sangat inspiratif, dengan kualitas yang saya harapkan
setiap orang memilikinya.

Tugas terakhir yang diberikan ke para siswanya diberi nama "Smiling."
Seluruh siswa diminta untuk pergi keluar dan memberikan senyumnya
kepada tiga orang asing yang ditemuinya dan mendokumentasikan reaksi
mereka. Setelah itu setiap siswa diminta untuk mempresentasikan di
depan kelas.

Saya adalah seorang yang periang, mudah bersahabat dan selalu
tersenyum pada setiap orang. Jadi, saya pikir, tugas ini sangatlah mudah.

Setelah menerima tugas tsb, saya bergegas menemui suami saya dan anak
bungsu saya yang menunggu di taman di halaman kampus, untuk pergi ke
restoran McDonald's yang berada di sekitar kampus. Pagi itu udaranya
sangat dingin dan kering. Sewaktu suami saya akan masuk dalam antrian,
saya menyela dan meminta agar dia saja yang menemani si Bungsu sambil
mencari tempat duduk yang masih kosong.

Ketika saya sedang dalam antrian, menunggu untuk dilayani, mendadak
setiap orang di sekitar kami bergerak menyingkir, dan bahkan orang
yang semula antri di belakang saya ikut menyingkir keluar dari antrian.

Suatu perasaan panik menguasai diri saya, ketika berbalik dan melihat
mengapa mereka semua pada menyingkir? Saat berbalik itulah saya
membaui suatu "bau badan kotor" yang cukup menyengat, ternyata tepat
di belakang saya berdiri dua orang lelaki tunawisma yang sangat dekil!
Saya bingung, dan tidak mampu bergerak sama sekali.

Ketika saya menunduk, tanpa sengaja mata saya menatap laki-laki yang
lebih pendek, yang berdiri lebih dekat dengan saya, dan ia sedang
"tersenyum" ke arah saya. Lelaki ini bermata biru, sorot matanya
tajam, tapi juga memancarkan kasih sayang. Ia menatap ke arah saya,
seolah ia meminta agar saya dapat menerima `kehadirannya' di tempat itu.

Ia menyapa "Good day!" sambil tetap tersenyum dan sembari menghitung
beberapa koin yang disiapkan untuk membayar makanan yang akan dipesan.
Secara spontan saya membalas senyumnya, dan seketika teringat oleh
saya `tugas' yang diberikan oleh dosen saya. Lelaki kedua sedang
memainkan tangannya dengan gerakan aneh berdiri di belakang temannya.
Saya segera menyadari bahwa lelaki kedua itu menderita defisiensi
mental, dan lelaki dengan mata biru itu adalah "penolong"nya. Saya
merasa sangat prihatin setelah mengetahui bahwa ternyata dalam antrian
itu kini hanya tinggal saya bersama mereka,dan kami bertiga tiba2 saja
sudah sampai di depan counter.

Ketika wanita muda di counter menanyakan kepada saya apa yang ingin
saya pesan, saya persilahkan kedua lelaki ini untuk memesan duluan.
Lelaki bermata biru segera memesan "Kopi saja, satu cangkir Nona."
Ternyata dari koin yang terkumpul hanya itulah yang mampu dibeli oleh
mereka (sudah menjadi aturan di restoran disini, jika ingin duduk di
dalam restoran dan menghangatkan tubuh, maka orang harus membeli
sesuatu). Dan tampaknya kedua orang ini hanya ingin menghangatkan badan.

Tiba2 saja saya diserang oleh rasa iba yang membuat saya sempat
terpaku beberapa saat, sambil mata saya mengikuti langkah mereka
mencari tempat duduk yang jauh terpisah dari tamu2 lainnya, yang
hampir semuanya sedang mengamati mereka…

Pada saat yang bersamaan, saya baru menyadari bahwa saat itu semua
mata di restoran itu juga sedang tertuju ke diri saya, dan pasti juga
melihat semua `tindakan' saya.

Saya baru tersadar setelah petugas di counter itu menyapa saya untuk
ketiga kalinya menanyakan apa yang ingin saya pesan. Saya tersenyum
dan minta diberikan dua paket makan pagi (di luar pesanan saya) dalam
nampan terpisah.

Setelah membayar semua pesanan, saya minta bantuan petugas lain yang
ada di counter itu untuk mengantarkan nampan pesanan saya ke
meja/tempat duduk suami dan anak saya. Sementara saya membawa nampan
lainnya berjalan melingkari sudut ke arah meja yang telah dipilih
kedua lelaki itu untuk beristirahat.

Saya letakkan nampan berisi makanan itu di atas mejanya, dan
meletakkan tangan saya di atas punggung telapak tangan dingin lelaki
bemata biru itu, sambil saya berucap "makanan ini telah saya pesan
untuk kalian berdua."

Kembali mata biru itu menatap dalam ke arah saya, kini mata itu mulai
basah berkaca2 dan dia hanya mampu berkata "Terima kasih banyak,
nyonya." Saya mencoba tetap menguasai diri saya, sambil menepuk
bahunya saya berkata "Sesungguhnya bukan saya yang melakukan ini untuk
kalian,Tuhan juga berada di sekitar sini dan telah membisikkan sesuatu
ke telinga saya untuk menyampaikan makanan ini kepada kalian."
Mendengar ucapan saya, si Mata Biru tidak kuasa menahan haru dan
memeluk lelaki kedua sambil terisak-isak. Saat itu ingin sekali saya
merengkuh kedua lelaki itu.

Saya sudah tidak dapat menahan tangis ketika saya berjalan
meninggalkan mereka dan bergabung dengan suami dan anak saya, yang
tidak jauh dari tempat duduk mereka. Ketika saya duduk suami saya
mencoba meredakan tangis saya sambil tersenyum dan berkata "Sekarang
saya tahu, kenapa Tuhan mengirimkan dirimu menjadi istriku, yang
pasti, untuk memberikan `keteduhan' bagi diriku dan anak2ku!"

Kami saling berpegangan tangan beberapa saat dan saat itu kami benar2
bersyukur dan menyadari, bahwa hanya karena `bisikanNYA' lah kami
telah mampu memanfaatkan `kesempatan' untuk dapat berbuat sesuatu bagi
orang lain yang sedang sangat membutuhkan.
Ketika kami sedang menyantap makanan, dimulai dari tamu yang akan
meninggalkan restoran dan disusul oleh beberapa tamu lainnya, mereka
satu persatu menghampiri meja kami, untuk sekedar ingin `berjabat
tangan' dengan kami.

Salah satu di antaranya, seorang bapak, memegangi tangan saya, dan
berucap "Tanganmu ini telah memberikan pelajaran yang mahal bagi kami
semua yang berada disini, jika suatu saat saya diberi kesempatan
olehNYA, saya akan lakukan seperti yang telah kamu contohkan tadi
kepada kami." Saya hanya bisa berucap "terimakasih" sambil tersenyum.
Sebelum beranjak meninggalkan restoran saya sempatkan untuk melihat ke
arah kedua lelaki itu, dan seolah ada `magnit' yang menghubungkan
bathin kami, mereka langsung menoleh ke arah kami sambil tersenyum,
lalu melambai2kan tangannya ke arah kami.

Dalam perjalanan pulang saya merenungkan kembali apa yang telah saya
lakukan terhadap kedua orang tunawisma tadi, itu benar2 `tindakan'
yang tidak pernah terpikir oleh saya. Pengalaman hari itu menunjukkan
kepada saya betapa `kasih sayang' Tuhan itu sangat HANGAT dan INDAH
sekali! Saya kembali ke college, pada hari terakhir kuliah dengan
`cerita' ini di tangan saya.

Saya menyerahkan `paper' saya kepada dosen saya. Dan keesokan harinya,
sebelum memulai kuliahnya saya dipanggil dosen saya ke depan kelas,
ia melihat kepada saya dan berkata, "Bolehkah saya membagikan ceritamu
ini kepada yang lain?" dengan senang hati saya mengiyakan.
Ketika akan memulai kuliahnya dia meminta perhatian dari kelas untuk
membacakan paper saya. Ia mulai membaca, para siswapun mendengarkan
dengan seksama cerita sang dosen, dan ruangan kuliah menjadi sunyi.
Dengan cara dan gaya yang dimiliki sang dosen dalam membawakan
ceritanya, membuat para siswa yang hadir di ruang kuliah itu seolah
ikut melihat bagaimana sesungguhnya kejadian itu berlangsung, sehingga
para siswi yang duduk di deretan belakang di dekat saya di antaranya
datang memeluk saya untuk mengungkapkan perasaan harunya.

Di akhir pembacaan paper tersebut, sang dosen sengaja menutup
ceritanya dengan mengutip salah satu kalimat yang saya tulis di akhir
paper saya. "Tersenyumlah dengan `HATImu', dan kau akan mengetahui
betapa `dahsyat' dampak yang ditimbulkan oleh senyummu itu."
Dengan caraNYA sendiri, Tuhan telah `menggunakan' diri saya untuk
menyentuh orang-orang yang ada di McDonald's, suamiku, anakku, guruku,
dan setiap siswa yang menghadiri kuliah di malam terakhir saya sebagai
mahasiswi. Saya lulus dengan 1 pelajaran terbesar yang tidak pernah
saya dapatkan di bangku kuliah manapun, yaitu: "PENERIMAAN TANPA SYARAT."

Banyak cerita tentang kasih sayang yang ditulis untuk bisa diresapi
oleh para pembacanya, namun bagi siapa saja yang sempat membaca dan
memaknai cerita ini diharapkan dapat mengambil pelajaran bagaimana
cara MENCINTAI SESAMA, DENGAN MEMANFAATKAN SEDIKIT HARTA-BENDA YANG
KITA MILIKI, dan bukannya
MENCINTAI HARTA-BENDA YANG BUKAN MILIK KITA, DENGAN MEMANFAATKAN SESAMA!

Jika anda berpikir bahwa cerita ini telah menyentuh hati anda,
teruskan cerita ini kepada orang2 terdekat anda. Disini ada `malaikat'
yang akan menyertai anda, agar setidaknya orang yang membaca cerita
ini akan tergerak hatinya untuk bisa berbuat sesuatu (sekecil apapun)
bagi sesama yang sedang membutuhkan uluran tangannya!
Orang bijak mengatakan: Banyak orang yang datang dan pergi dari
kehidupanmu, tetapi hanya 'sahabat yang bijak' yang akan meninggalkan
JEJAK di dalam hatimu. Untuk berinteraksi dengan dirimu, gunakan
nalarmu. Tetapi untuk berinteraksi dengan orang lain, gunakan HATImu!
Orang yang kehilangan uang, akan kehilangan banyak, orang yang
kehilangan teman, akan kehilangan lebih banyak! Tapi orang yang
kehilangan keyakinan, akan kehilangan semuanya! Tuhan menjamin akan
memberikan kepada setiap hewan makanan bagi mereka, tetapi DIA tidak
melemparkan makanan itu ke dalam sarang mereka, hewan itu tetap harus
BERIKHTIAR untuk bisa mendapatkannya..

Orang-orang muda yang `cantik' adalah hasil kerja alam, tetapi
orang-orang tua yang `cantik' adalah hasil karya seni. Belajarlah dari
PENGALAMAN MEREKA, karena engkau tidak dapat hidup cukup lama untuk
bisa mendapatkan semua itu dari pengalaman dirimu sendiri.

Tersenyumlah
^_^

Baca Selengkapnya...

1.03.2009

Lihatlah Yang Tak Terlihat

Often you just have to rely on your intuition. (Bill Gates)
Seringkali kita harus percaya (bertumpu) pada insting kita. Banyak hal di dunia ini yang memang tidak masuk akal. Banyak hal juga yang tidak seperti kelihatannya. Oleh karena itu, kita perlu melihat jauh melampaui apa yang dapat kita lihat.

Saat pasangan Anda malah tampak asyik berjalan-jalan ke mall, padahal ibunya sedang sakit keras, apa yang akan Anda pikirkan tentang dia?
Sekilas pada awalnya, Anda pasti kecewa. "Ibu sakit, kamu kok malah asyik jalan-jalan ke mall si mas..." Mungkin demikian pikiran Anda. Anda berpikir dia tidak peduli. Lalu, pikiran Anda merambat ke mana-mana dan kekecewaan terus berlanjut.

Sampai suatu kelak, Anda mendapati dia menangis tersedu-sedu di dalam mobil, sendirian. Anda baru menyadari bahwa pasangan Anda ternyata bukanlah orang yang dapat menyalurkan kesedihan dengan baik. Dia tidak tahu harus bagaimana untuk melampiaskan dukanya.
Contoh di atas hanyalah salah satu contoh bahwa apa yang terjadi kerap kali tidak seperti yang sebenarnya. Kita sebagai manusia kerap tertipu oleh mata, apa yang kita lihat dan penilaian kita sendiri.
Oleh sebab itu, seringkali kita perlu mendengar dan mempercayai hati kita, insting kita, lebih dari mata kita sendiri. Dengarkan hatimu!
Seorang bijak berkata, salah satu cara untuk mengetahui apakah tindakan kita sudah benar atau malah salah adalah melalui rasa damai.
Jika kita melakukan sesuatu dan kemudian timbul rasa sesal, bersalah, tidak enak, sedih atau perasaan negatif lainnya, maka besar kemungkinan apa yang kita lakukan itu salah. Demikian juga sebaliknya.



Baca Selengkapnya...

12.27.2008

UU Pemilu Soal Suara Terbanyak


Gus Dur Nilai Putusan MK Cegah Nepotisme
Putusan itu dapat mengurangi aroma nepotisme dalam persaingan perebutan kekuasaan.
VIVAnews - Mantan Presiden Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi soal suara terbanyak bagi calon legislatif. Putusan itu dapat mengurangi aroma nepotisme dalam persaingan perebutan kekuasaan.

"Undang-Undang itu kan untuk mencegah parpol (partai politik) agar orang-orang (calon legislatif) yang dekat dengan dia (petinggi partai) itu tidak terpilih," ujar Gus Dur usai diskusi Refleksi Akhir Tahun di Radio 68H, Jalan Utan Kayu, Jakarta Timur, Sabtu, 27 Desember 2008.
Maka itu, Gus Dur berpendapat agar putusan Mahkamah Konstitusi itu lebih dicermati dan dikembalikan lagi kepada masing-masing partai politik. Gus Dur mengakui, putusan tersebut akan banyak menuai masalah dari berbagai pihak. Maka itu, lanjut Gus Dur, masalah kerap akan timbul seiring dengan munculnya konsep-konsep baru.

"Kalau masalah itu biasa. Selalu ada masalah ketika muncul ide baru. Masalah itu sudah tugas dia," kata Gus Dur

Pada Selasa, 23 Desember 2008, Mahkamah Konstitusi membatalkan aturan kombinasi nomor urut dengan Bilangan Pembagi Pemilih yang diatur pasal 214 huruf a sampai e UU Pemilu itu. Mahkamah menyatakan, sistem itu menganiaya kedaulatan rakyat sehingga calon harus ditetapkan berdasarkan suara terbanyak.
Sumber : http://politik.vivanews.com
Baca Selengkapnya...

12.26.2008

Materi Komputer

Guna mendukung kreatifitas siswa-siswi MAN Tambakberas Jombang
tidak terlepas dari dukungan sarana dan prasarana,
MAN Tambakberas dengan perkembangan Teknologi Informasi, membangun jaringan internet, Hotspot dengan fasilitas 2 ruang Lab. Komputer, sehingga terjalin informasi dan komunikasi,
baik antar siswa, guru, dan alumni

MATERI PELATIHAN PROGRAM KOMPUTER
MADRASAH ALIYAH NEGERI (MAN)
TAMBAKBERAS JOMBANG


DASAR SISTEM KOMPUTER
Pengenalan Sistem Operasi
Pengenalan Hardware
Konfigurasi Sistem
Manajemen File


MICROSOFT WORD
Pengenalan Microsoft Word
Pembuatan Dokumen
Pengaturan Paragraf, Style dan Layout
Pembuatan Tabel, Border & Shading
Drawing
Bekerja dengan Object
Penerapan Aplikasi


MICROSOFT EXCEL
Pengenalan Microsoft Excel
Manfaat Lembar Kerja (Worksheet) Excel
Pengenalan Rumus dan Fungsi
Pembuatan Grafik
Analisa Data


ADOBE PHOTOSHOP
Pengenalan Desain Grafis
Pengenalan Adobe Photoshop
Pengenalan Peralatan Adobe Photoshop
Operasi Dasar Adobe Photoshop
Penggunaan Efek
Editing Photo dan Gambar
Pengolahan Desain Grafis


MICROSOFT POWERPOINT
Pengenalan Microsoft PowerPoint
Pembuatan Slide
Pengenalan Navigator
Pembuatan Animasi dan Efek
Pengolahan Layout


LAN DAN INTERNET
Perangkat Keras Internet
Broswer Internet
Search Engine
Halaman Web ke komputer
Surat Elekronik Email



Baca Selengkapnya...

Yang Terlewatkan dalam Pendidikan

ADA kesan kuat, baik guru, orangtua, maupun murid, selalu didorong untuk mengejar dan menghimpun informasi keilmuan sebanyak mungkin, namun melupakan aspek pendidikan yang fundamental, yaitu bagaimana menjalani hidup dengan terhormat. Salah satu penyebab merebaknya korupsi ialah gagalnya dunia pendidikan dalam pembentukan karakter agar hidup selalu dipandu nurani.

Pagi-pagi, seorang ibu dan anaknya dengan wajah tegang menuju rumah seorang aparat pemerintah. Pertemuan itu tak lebih dari 10 menit. Ibu dan anak pamit, dan pulang dengan wajah ceria. Keceriaan disampaikan kepada ayahnya melalui telepon. Apa yang terjadi?

Rupanya ibu dan anak itu berhasil memperoleh bocoran soal ujian setelah membayar sejumlah uang. Apa yang signifikan dari peristiwa ini? Jika peristiwa itu direnungkan, suatu hal amat jelas. Orangtua telah menanamkan virus kehidupan kepada anak bahwa sukses bisa dibeli dengan uang, dengan menyogok, dan semua itu seolah sah-sah saja. Peristiwa itu juga menggoreskan catatan seumur hidup di hati anak. Pagi itu, orangtua telah merobohkan prinsip kejujuran. Akibatnya, jika suatu saat orang atau guru mengajarkan nilai-nilai kejujuran, anak akan menilai semua itu bisa ditawar. Singkatnya, secara moral orangtua tidak lagi punya wibawa untuk mengajarkan kejujuran di mata anaknya.

Belum lama ini saya dibuat tercenung membaca Pojok Kompas (15/1). Tertulis: "Kelulusan 322 calon PNS di Departemen Agama dibatalkan sebab yang bersangkutan tak ikut tes". Di lingkungan Depag, juga di departemen lain, kecurangan seperti ini bukan hal baru. Namun saat korupsi terjadi di Depag, implikasi moral politiknya lebih besar karena bisa mengarah pada logika bahwa Depag yang mestinya berperan sebagai "sapu yang bersih" telah terseret dan menyatu bersama sampah yang hendak dibersihkan.

Pendidikan berbasis karakter

Pendidikan adalah usaha sistematis dengan penuh kasih untuk membangun peradaban bangsa. Di balik sukses ekonomi dan teknologi yang ditunjukkan negara-negara maju, semua itu semula disemangati nilai-nilai kemanusiaan agar kehidupan bisa dijalani lebih mudah, lebih produktif, dan lebih bermakna. Namun banyak masyarakat yang lalu gagal menjaga komitmen kemanusiaannya setelah sukses di bidang materi, yang oleh John Naisbit diistilahkan High-Tech, Low-Touch. Yaitu gaya hidup yang selalu mengejar sukses materi, tetapi tidak disertai dengan pemaknaan hidup yang dalam. Akibatnya, orang lalu menitipkan harga dirinya pada jabatan dan materi yang menempel, tetapi kepribadiannya keropos.

Seseorang merasa diri hebat dan berharga bukan karena kualitas pribadinya, tetapi jabatan dan kekayaan, meski diraih dengan cara tidak terhormat. Pribadi semacam ini oleh Erich Fromm disebut having oriented, bukan being oriented, pribadi yang obsesif untuk selalu mengejar harta dan status, tetapi tidak peduli pada pengembangan kualitas moral.

Ketika pendidikan tidak lagi menempatkan prinsip-prinsip moralitas agung sebagai basisnya, maka yang akan dihasilkan adalah orang yang selalu mengejar materi untuk memenuhi tuntutan physical happiness yang durasinya hanya sesaat dan potensial membunuh nalar sehat dan nurani. Padahal, aktualisasi nilai kemanusiaan membutuhkan perjuangan hidup sehingga seseorang akan merasa lebih berharga dan bahagia saat mampu meraih kebahagiaan nonmateri, yaitu intellectual happiness, aesthetical happiness, moral happiness ,dan spiritual happiness. Pendidikan yang sehat adalah yang secara sadar membantu anak didik bisa merasakan, menghayati, dan menghargai jenjang makna hidup dari yang bersifat fisikal sampai yang moral, estetikal, dan spiritual. Peradaban dunia selalu dibangun oleh tokoh-tokoh moral-spiritual, yang dihancurkan politisi dan teknokrat yang mabuk kekuasaan.

Selama ini produk pendidikan amat kurang membantu pertumbuhan spiritualitas anak sehingga mereka sulit mengagumi keramahan langit terhadap bumi, gemercik air, festival awan, kekompakan hidup dunia semut, dan perilaku alam lain yang semua itu merupakan ayat-ayat Tuhan dan bacaan terbuka yang amat indah. Ini semua disebabkan kesalahan proses pendidikan yang kita dapat, yang hampir melupakan dimensi akal budi dan emosi serta tidak memandang alam sebagai entitas yang hidup.

Sebenarnya tak ada benda mati di hadapan orang yang akal budinya hidup. Terlebih di hadapan Tuhan, semuanya hidup dan bekerja atas perintah-Nya karena tercipta bukan tanpa tujuan. Pendidikan kita kurang mengajarkan bagaimana bersahabat dan berdialog dengan kehidupan secara menyeluruh.

Sebuah kasus menarik saat bencana tsunami di Aceh, hampir tidak ditemukan bangkai sapi atau kerbau dan hewan lain karena semuanya telah menyelamatkan diri. Hewan-hewan itu memiliki kepekaan dan mampu berdialog dengan sesama penghuni bumi saat bahaya akan datang. Kalaupun ada yang mati, itu lebih dikarenakan hewan-hewan itu kurang makan atau terjebak di kandang.

Belajar dan mengajar dengan hati

Seiring munculnya kesadaran dan tuntutan moral dalam dunia bisnis, dalam dunia pendidikan juga muncul gerakan baru untuk melibatkan emosi dan nurani dalam proses pembelajaran. Dipopulerkan oleh Danah Zohar, Ian Marshall, dan Daniel Golleman, literatur seputar betapa vitalnya dimensi spiritual dan emosional dalam kerja dan belajar kian diapresiasi kalangan eksekutif muda dan praktisi pendidikan. Misalnya, Training ESQ- Leadership yang dimotori Ary Ginanjar mendapat sambutan masyarakat.

Pelatihan ini menghasilkan lebih dari 50.000 alumni, tersebar di seluruh perusahaan di Indonesia, dan tiap bulan bertambah sedikitnya 7.000. Bahkan training ini telah masuk kurikulum SESKOAD Bandung. Fenomena ini tentu amat menggembirakan, sebuah kebangkitan kesadaran etis dan spiritual dalam upaya membangun bangsa yang bermartabat serta mendorong lahirnya generasi baru yang setia dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan dan ketuhanan.

Ada beberapa buku yang sebaiknya dibaca para guru, misalnya karya-karya Eric Jensen, Thomas Armstrong, dan Dave Meier soal bagaimana menciptakan proses dan suasana pembelajaran dengan mengacu pada sifat otak dan emosi (brain based learning) sehingga suasana belajar menjadi nyaman, kreatif, dan kontemplatif. Pembelajaran yang menjadikan siswa sebagai subyek, di mana anak-anak itu memiliki nurani dan potensi multikecerdasan, namun belum tergali dan teraktualisasi. Dengan demikian, proses pembelajaran sebaiknya dimulai dengan melihat, mengamati, dan merasakan lingkungan sosial yang dihadapi, guru dan murid berempati menjadi bagian integral dari realitas sosial dan semesta. Dari situ keilmuan dibangun untuk membantu memecahkan problem kemanusiaan.

Semua ilmu pengetahuan awalnya adalah produk kegelisahan akal budi dan nurani guna meringankan beban hidup manusia. Celakanya, banyak kaum profesional dan birokrat yang dengan ilmu dan jabatannya malah menjadi penindas rakyat. Rakyat amat merindukan pemimpin, birokrat, dan pelaku pasar yang senantiasa mempertahankan prinsip hidup terhormat, hidup yang dipimpin suara hati, meski bisa jadi harus siap hidup sederhana. Itu semua harus dimulai dari pendidikan keluarga dan sekolah yang menjunjung tinggi pendidikan karakter.

Komaruddin Hidayat Pembina Sekolah Berwawasan Internasional (SBI) Madania
Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0502/03/opini/1538957.htm

Baca Selengkapnya...

Merebut Makna, Belajar Bahasa Kehidupan

DALAM bahasa yang kita gunakan, kata Ludwig Wittgenstein, ahli filsafat bahasa dari Austria, tersirat suatu orientasi hidup yang bukan saja mencakup konsep yang kita anut mengenai sekitar, melainkan juga perasaan, nilai, pikiran, kebudayaan, hingga takhayul. Bahasa amat penting. Ialah yang menentukan hubungan dan pergaulan dalam segala segi di masyarakat.

Dengan bahasa kita dapat menyembunyikan dan mengungkap pikiran, dengan bahasa pula kita mencipta dan menyudahi konflik. Karena bahasa, kita menyerahkan cinta dan dengannya pula kita mengumumkan perang. Singkatnya, bahasa adalah petunjuk kehidupan dan gambaran dunia kita. Padanya ditemukan analisis objektif kehidupan kita.

DENGARKAN laporan dan berita di televisi, bising ujaran di kampus, dan saksikan kemampuan baca tulis di hampir semua lapisan. Kalimat yang tidak koheren, ejaan serampangan, pilihan kata yang bersalahan sampai ke kisah yang tidak berkembang dan mudah ditebak apalagi tidak imajinatif, ditemukan di banyak terbitan. Buku yang amat diminati, bahkan dipenuhi bahasa lisan.

Deskripsi-deskripsi serupa ini, "Seharian di rumah terus, keluar rumah kalo kuliah aja. Kalo nggak ada kuliah? Ya ngurung diri di kamar masing-masing. Kalo nggak belajar, ya tidur. Seringnya malah belajar sambil ketiduran. Aneh juga, ya? Nggak biasanya anak kos yang centil-centil itu nggak bertingkah. Biasanya, begitu denger ada sale di mal atau ada pagelaran konser musik oke, hebohnya sejak dua bulan sebelumnya." bagaimanapun, menunjukkan bahwa ada yang salah dengan-pengguna-bahasa Indonesia.

Tentu saja contoh itu tidak mungkin dipahami dengan cara pukul rata, apalagi dari satu segi saja. Sekilas contoh itu dapat diterima sebagai hasil pendidikan yang semrawut, dapat juga mewakili jiwa yang ingin bebas. Tampak ketidakpedulian, terasa pelecehan, dan keduanya memastikan bahwa bahasa Indonesia tidak dianggap penting juga tak berharga bagi pemiliknya. Tetapi, bila kita percaya pada bahasa sebagai buah pikiran, alat logika untuk meramu idiom demi penyampaian pikiran dan perasaan, cara berbahasa harus dikaitkan dengan kemampuan berpikir. Kecermatan dan kesantunan berbahasa dengan begitu, adalah cerminan nalar dan budaya seseorang.

Hal itu mengantar kita pada sekolah yang mendidik siswa mampu membaca dan menulis dalam pelajaran bahasa Indonesia. Apakah yang terjadi di sekolah? Apakah dengan semua upaya, dana, waktu, dan tenaga yang dicurahkan, kita hanya akan menuai kegagalan? Bagaimanakah caranya mengelola mata pelajaran bahasa Indonesia sehingga menarik dan dapat berbekas pada siswa? Adakah jalan sehingga dengan belajar bahasa siswa menemukan minat dan dengan begitu dapat mengembangkan potensinya apalagi menemukan jati dirinya?

Pertama, harus dipercaya, belajar bahasa yakni membaca, menulis, dan berbicara adalah bagian dari proses berpikir. Dengan bahasa, siswa dimampukan berpikir kalau boleh hingga ke tataran yang rumit karena tersedianya sebuah struktur untuk mengekspresikan dan mengenali hubungan antarkonsep dan dengan itu ia dapat berkomunikasi dengan sesamanya. Dalam pelajaran bahasa, siswa belajar tentang bagaimana berkomunikasi sambil mengenali cara berpikir yang sesuai budaya bahasa yang dipelajarinya. Karena itu, semua upaya di kelas dikerahkan untuk memampukan komunikasi dan menumbuhkan keterampilan berpikir kritis. Contoh keseharian tulisan membuktikan bahwa siswa tak biasa dan bisa berpikir. Bercakap dan berkomunikasi juga sulit bagi banyak orang. Hal yang sama tampak pula pada bacaan mereka.

Kedua, karena bahasa adalah pikiran dan perasaan yang lahir dari sebuah budaya dan dunia, maka siswa hanya akan terlibat dalam pelajaran bahasa kalau ia diperlakukan sebagai subyek, diizinkan masuk secara aktif dalam dunia yang sedang dibacanya, dan membuat bacaannya menjadi bagian dari dirinya. Inilah yang disebut Paulo Freire sebagai membaca dan menulis yang tumbuh dari gerakan dinamis "membaca dunia", yaitu berbincang tentang pengalaman, berbicara bebas dan spontan, dan tidak memisahkan membaca dan menulis huruf dan kata dari membaca dan menulis kehidupan.

Ketiga, dengan kerendahan hati guru perlu menyadari pentingnya peningkatan pengetahuan tentang siswa, mengenai bahasa yang diajarkan dan harus diyakini, apalagi perihal kehidupan sebagai sumber dan alasan pentingnya berbahasa dan menjadi manusia. Guru perlu sabar dan toleran menghadapi dan menerima siswa dan senantiasa tak sabaran untuk memberikan yang terbaik. Dengan menyadari kompleksitas perkembangan siswa, para penentu keberhasilan diharapkan mengasihi siswanya secara afirmatif, sekaligus dapat menerima dan mendorongnya berbuat lebih banyak, yang membuatnya makin bertanggung jawab atas tugasnya. Kualitas itu menguatkan guru untuk memotivasi siswa menginterpretasi bacaannya, merebut makna dan menulis ulang apa yang dibacanya, dan berubah karenanya.



SAYANG, Uji Coba Ujian Akhir Nasional Bahasa Indonesia SLTP 20 April 2003 lalu menunjukkan betapa pendidikan bahasa di Indonesia masih menganut konsep perbankan, karena ujian direkayasa melulu untuk memeriksa apa yang diterima siswa-yang dideposito para guru-apa yang mereka kunyah dan hafalkan. Soal pilihan ganda tentu meniscayakan pengetahuan tentang bahasa bukan keterampilan berbahasa.

Penyempitan makna, kalimat berobyek, kata ganti, keterangan kesalingan, hubungan pengandaian, makna akhiran, kalimat majemuk antara lain diujikan. Hal dilematis timbul saat siswa harus menentukan watak tokoh dalam karya sastra berdasarkan hanya satu alinea.

Sebuah karya terbitan tahun 30-an, tentang seorang tokoh berumur 27 tahun yang merisaukan jodohnya, sudah jelas jauh dari dunia anak SLTP. Dari ujian ini tampak kebutuhan siswa diabaikan, disangka berpikir alih-alih dibiarkan menebak, dan masih diperlukan cara melibatkan perasaan dan minat mereka.

Jadi, apakah yang dapat dilakukan, dan perubahan manakah yang diperlukan? Pusat pengajaran bahasa haruslah siswa, demi pemahaman, minat, dan kebutuhan mereka. Siswa penuh dengan bahasa dan amat gembira belajar. Kemampuan mereka mengonstruksi makna juga istimewa sehingga para pengajar bisa dengan mudah menjadi pembelajar ketika berhadapan dengan siswa. Karena yang utama dalam pelajaran bahasa adalah kebersatuan bacaan, tulisan, dan ujaran siswa dengan dunia yang hendak dikenalinya, maka guru perlu menjadi satu dengan siswa, punya kegirangan menjelajah mengenali kehidupan, ingin tahu dan suka berkelana.

Pengajaran bahasa dengan demikian adalah upaya melibatkan murid, yang tidak bisa diperlakukan melulu sebagai pelatihan teknis, tetapi harus menghubungkannya dengan perasaan, minat, dan kebutuhan mereka. Keberhasilannya tergantung dari partisipasi dalam dialog yang terencana.

Untuk itu, dua jam pertama setiap hari di sekolah hendaknya dipersembahkan untuk bahasa, dan sepanjang hari upaya bernalar, mempertimbangkan rasa dengan mengedepankan keperluan siswa menjadi utama. Karena membaca dan menulis adalah cara untuk menemukan arah dan arti, keindahan dan keintiman hidup yang dapat mencipta dan membangun kehidupan siswa. Hanya dengan mengajar bahasa dengan benar kita membantu anak mendapatkan haknya sebagai anggota keluarga umat manusia.


Riris K Toha-Sarumpaet Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/05/opini/292386.htm

Baca Selengkapnya...

K.H. Hasyim Asy’ari


Nama:
Kiai Hasyim Asy'ari
Lahir:
Jombang, Jawa Timur, 10 April 1875 (24 Dzulqaidah 1287H)
Meninggal:
25 Juli 1947
Ayah/Ibu:
Kiai Asyari/Halimah
Jasa-jasa:
- Pendiri Pesantren Tebuireng, 1899
- Salah satu pendiri Nahdlatul Ulama, 31 Januari 1926
- Tokoh pembaharu pesantren
Penghormatan:
- Pahlawan Kemerdekaan Nasional (SK Presiden RI No.294 Tahun 1964, tgl 17 Nop 1964
Silahkan Kunjungi :
  • Situs PP. Tebuireng Jawa Timur


  • Ulama Pembaharu Pesantren
    Pendiri pesantren Tebuireng dan perintis Nahdlatul Ulama (NU), salah satu organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia, ini dikenal sebagai tokoh pendidikan pembaharu pesantren. Selain mengajarkan agama dalam pesantren, ia juga mengajar para santri membaca buku-buku pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.

    Karya dan jasa Kiai Hasyim Asy’ari yang lahir di Pondok Nggedang, Jombang, Jawa Timur, 10 April 1875 tidak lepas dari nenek moyangnya yang secara turun-temurun memimpin pesantren. Ayahnya bernama Kiai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Kiai Hasyim Asy’ari merupakan keturunan Raja Brawijaya VI, yang juga dikenal dengan Lembu Peteng, ayah Jaka Tingkir yang menjadi Raja Pajang (keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir).

    Kakeknya, Kiai Ustman terkenal sebagai pemimpin Pesantren Gedang, yang santrinya berasal dari seluruh Jawa, pada akhir abad 19. Dan ayah kakeknya, Kiai Sihah, adalah pendiri Pesantren Tambakberas di Jombang.

    Semenjak kecil hingga berusia empat belas tahun, putra ketiga dari 11 bersaudara ini mendapat pendidikan langsung dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman. Hasratnya yang besar untuk menuntut ilmu mendorongnya belajar lebih giat dan rajin. Hasilnya, ia diberi kesempatan oleh ayahnya untuk membantu mengajar di pesantren karena kepandaian yang dimilikinya.

    Tak puas dengan ilmu yang diterimanya, semenjak usia 15 tahun, ia berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain. Mulai menjadi santri di Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren Trenggilis (Semarang), dan Pesantren Siwalan, Panji (Sidoarjo). Di pesantren Siwalan ia belajar pada Kyai Jakub yang kemudian mengambilnya sebagai menantu.

    Pada tahun 1892, Kiai Hasyim Asy'ari menunaikan ibadah haji dan menimba ilmu di Mekah. Di sana ia berguru pada Syeh Ahmad Khatib dan Syekh Mahfudh at-Tarmisi, gurunya di bidang hadis.

    Dalam perjalanan pulang ke tanah air, ia singgah di Johor, Malaysia dan mengajar di sana. Pulang ke Indonesia tahun 1899, Kiai Hasyim Asy'ari mendirikan pesantren di Tebuireng yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20. Sejak tahun 1900, Kiai Hasyim Asy'ari memosisikan Pesantren Tebuireng, menjadi pusat pembaruan bagi pengajaran Islam tradisional.

    Dalam pesantren itu bukan hanya ilmu agama yang diajarkan, tetapi juga pengetahuan umum. Para santri belajar membaca huruf latin, menulis dan membaca buku-buku yang berisi pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.

    Cara yang dilakukannya itu mendapat reaksi masyarakat sebab dianggap bidat. Ia dikecam, tetapi tidak mundur dari pendiriannya. Baginya, mengajarkan agama berarti memperbaiki manusia. Mendidik para santri dan menyiapkan mereka untuk terjun ke masyarakat, adalah salah satu tujuan utama perjuangan Kiai Hasyim Asy'ari.

    Meski mendapat kecaman, pesantren Tebuireng menjadi masyur ketika para santri angkatan pertamanya berhasil mengembangkan pesantren di berbagai daerah dan juga menjadi besar.

    Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini pun berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asy'ari pun semakin besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

    Bahkan, para ulama di berbagai daerah sangat menyegani kewibawaan Kiai Hasyim. Kini, NU pun berkembang makin pesat. Organisasi ini telah menjadi penyalur bagi pengembangan Islam ke desa-desa maupun perkotaan di Jawa.

    Meski sudah menjadi tokoh penting dalam NU, ia tetap bersikap toleran terhadap aliran lain. Yang paling dibencinya ialah perpecahan di kalangan umat Islam. Pemerintah Belanda bersedia mengangkatnya menjadi pegawai negeri dengan gaji yang cukup besar asalkan mau bekerja sama, tetapi ditolaknya.

    Dengan alasan yang tidak diketahui, pada masa awal pendudukan Jepang, Hasyim Asy'ari ditangkap. Berkat bantuan anaknya, K.H. Wahid Hasyim, beberapa bulan kemudian ia dibebaskan dan sesudah itu diangkat menjadi Kepala Urusan Agama. Jabatan itu diterimanya karena terpaksa, tetapi ia tetap mengasuh pesantrennya di Tebuireng.

    Sesudah Indonesia merdeka, melalui pidato-pidatonya Kiai Hasyim Asy’ari membakar semangat para pemuda supaya mereka berani berkorban untuk mempertahankan kemerdekaan. Ia meninggal dunia pada tanggal 25 Juli 1947 karena pendarahan otak dan dimakamkan di Tebuireng. ►e-ti/ms-atur, dari berbagai sumber.
    Baca Selengkapnya...

    KH Wahab Chasbullah


    Profil Singkat
    Lahir : Maret 1888, di Tambakberas, Jombang, Jawa Timur
    Wafat : 29 Desember 1971



    Pendidikan: Pesantren Langitan Tuban; Pesantren Mojosari, Nganjuk; Pesantren Tawangsari, Surabaya; Pesantren Bangkalan, Madura; Pesantren Tebuireng, Jombang; Makkah Mukkaramah.

    Pendiri Tashwirul Afkar, Nahdatul Wathan, Syubbanul Wathan,  Nahdlatul Ulama, dan SI Cabang Makkah
    Pemrakarsa : Komite Hijaz;
    Pengabdian : Rois’ Am PB Syuriyah NU.
  • Klik disini
  • untuk melihat album kenangan

    Agak sulit menemukan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan sosok KH. Abdul Wahab Chasbullah, tokoh sentral pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Untuk lebih mendekati kebenaran, kita harus pinjam istilah KH. Abdul Wahid Hasyim yang menyebut kyai Wahab sebagai “kyai merdeka”. Dalam sepanjang sejarah perjuangannya, kyai dari Jombang ini memang cenderung berjiwa bebas, berpendirian merdeka, tidak mudah terpengaruh lingkungan sekeliling. Bukan “pak turut”, kata almarhum Kyai Haji Saifuddin Zuhri. Bahkan sampai cara berbicara, berjalan dan berpakaian beliau tidak menjiplak orang lain.

    Di zaman revolusi, baju kesayangannya adalah potongan safari lengan panjang berwarna khaki dengan kemeja putih yang lehernya dikeluarkan, persis tokoh-tokoh muda zaman sekarang. Tetapi ini yang penting, tetap mengenakan sarung dan serban. Pakaian semacam itu dikenakan pada waktu berada di parlemen, Istana Presiden atau di front pertemuan. Pendirian politiknya maupun pendirian hukum agamanya dikemukakan tanpa ragu-ragu, jelas dan terbuka. Tidak gentar menghadapi reaksi dari mana pun. Jika menurut keyakinannya sesuai dengan hukum Islam, dikemukakan tanpa tedeng aling-aling.

    Profil kyai amat berpengaruh ini seolah memberikan penegasan bahwa:
    Pertama, Kyai Wahab adalah ulama pesantren tulen dengan ciri khas mengenakan kain sarung dan serban. Kemana saja pergi, beliau selalu mengenakan kedua pakaian itu, hatta ketika berada di medan perang sekalipun. Mengenai serban ini, menurut penuturan KH. Saifuddin Zuhri, ada anekdot menarik.

    Suatu ketika, Kyai Wahab berbicara dalam sidang parlemen. Sebelum naik ke podium beliau terlebih dahulu membetulkan letak serbannya. Pada saat itu ada mulut usil nyeletuk, “Tanpa serban kenapa sih?” Sambil menunjuk serbannya, Kyai Wahab kontan menjawab, “Serban Diponegoro!” Ketika berdiri di podium sang kyai, sambil menunjuk serbannya berkata, “Pangeran Diponegoro, Kiai Mojo, Imam Bonjol, Teuku Umar, semuanya pakai serban.” Karuan saja ruangan sidang dipenuhi gelak tawa anggota parlemen;

    Kedua, Kyai Wahab adalah seorang intelektual yang salah satu cirinya adalah berjiwa bebas, berpikir merdeka dan tidak mudah terpengaruh lingkungan; dan
    Ketiga, Kyai Wahab adalah seorang politisi kawakan yang dekat dengan presiden. Disamping, tentu saja sebagai seorang pejuang, karena beliau berkali-kali terjun langsung bertempur melawan penjajah Belanda dan Jepang.

    Intelektualitas dan Joke

    Pengembaraan intelektual Kyai Wahab mempunyai benang merah yang jelas dan bisa ditelusuri melalui berbagai aktivitas beliau sepanjang hidupnya. Dimulai dengan mendirikan kelompok diskusi Tashwirul Afkar tahun 1914 bersama KH. Mas Mansur, mendirikan pergerakan Nahdlatul Wathan dan Syubbanul Wathan, memprakarsai pembentukan Komite Hijaz, sampai memberikan inspirasi dan sekaligus membidani lahirnya Nahdlatul Ulama.

    Yang dirintis oleh Kyai Wahab sekitar tahun 1920 dengan mengadakan kontak dan kerjasama dengan Dr. Soetomo di dalam Islam Studie Club adalah cikal bakal munculnya pemikiran yang memberikan arah bagi kerjasama antara kekuatan Islam dan nasionalis menuju terciptanya tatanan masyarakat maju dan modern tanpa mengesampingkan nilai-nilai keagamaan. Ini merupakan sumbangan terbesar yang diberikan seorang ulama kepada bangsa. Bukanlah seorang intelektual jika Kyai Wahab tidak bisa memecahkan persoalan-persoalan pelik dengan spontan, cerdas dan memiliki joke-joke dan humor yang tinggi. Dalam hal yang satu ini Kyai Wahab adalah jagonya.

    Ketika terjadi perdebatan di kalangan tokoh Masyumi mengenai ikut atau tidaknya dalam Kabinet Hatta, yang salah satu programnya adalah melaksanakan Persetujuan Renville yang ditolak Masyumi, Kyai Wahab tampil memecahkan persoalan disertai joke-joke jitu. Kyai Wahab mengusulkan agar Masyumi terlibat dalam Kabinet Hatta. Pertimbangannya jika Masyumi terlibat di dalam, akan lebih mudah menentang kebijaksanaan kabinet tersebut. Forum ternyata menyetujui usul itu setelah melalui perdebatan seru.

    Kyai Haji Raden Hajid tokoh Muhammadiyah, menanyakan kepada Kyai Wahab, “Setiap calon menteri yang akan duduk dalam kabinet tersebut harus mempunyai niat bagaimana?”. Dijawab Kyai Wahab, “Niatnya I’zalul munkarat (melenyapkan yang mungkar).” “Kalau begitu, niatnya harus dilafalkan,” usul Kyai Hajid. Dengan spontan Kyai Wahab menimpali, “Mana dalil al-Qur’an dan haditsnya mengenai talaffuzh bin niyyat (melafalkan niat)?” Serentak hadirin tertawa riuh. Sebagaiman diketahui kedua tokoh ini mewakili dua organisasi yang berbeda pendapat dalam harus atau tidaknya mengucapkan lafal niat (ushalli) dalam shalat; pengikut NU selalu melafalkan niat, sedangkan Muhammadiyah tidak. Lha kok dalam masalah Renville ini menjadi terbalik, jadi lucu terdengarnya.

    Kecil tetapi Gagah

    Kyai Wahab selalu dilukiskan sebagai orang yang energik, penuh semangat, ramah dan berwibawa. Kulitnya sedikit hitam, tetapi tidak mengurangi sinar wajahnya yang menyimpan sifat kasih. Konon Kyai ini sulit untuk marah dan dendam karena sifat dan penampilannya yang humoris. “Meskipun orangnya kecil, beliau tampak selalu bersikap gagah,” kata Kyai Haji Saifuddin Zuhri, salah seorang pengagumnya. Selanjutnya dilukiskan oleh Kyai Saifuddin Zuhri bahwa Kyai Wahab adalah ulama dengan pengetahuan yang sangat luas, tidak terbatas pada bidang agama saja. Orang yang pernah dekat dengannya tidak pernah jemu mendengarkan uraian kata-katanya yang serba baru dan mengandung nilai-nilai kebenaran yang mempesona. Kyai Wahab bukan termasuk golongan ulama “klise” karena tindak tanduk dan tutur katanya orisinal, keluar dari perbendaharaan ilmu dan pengalamannya. Tidak pernah beliau merasa canggung berbicara di muka ribuan manusia sekalipun dengan dilakukan mendadak, tetapi juga tidak pernah kecewa bila yang mengerumuni cuma sedikit orang.

    Kecerdasan otaknya dilengkapi dengan retorika yang baik, menjadikan setiap uraiannya terdengar menarik. Topik pembicaraannya bisa dari masalah bela diri pencak sampai bom atom, dari onderdil mobil sampai masalah aparatur negara, dari masalah kasidah dan perwayangan hingga masalah land reform dan sosialisme.

    Bagi warga NU, Kyai Wahab tidak sekadar bapak dan pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia, melainkan sebagai simbol dalam banyak hal, dari tradisi intelektual di kalangan ulama pesantren sampai lambang pemersatu. Diceritakan bahwa Kyai Wahab mendirikan, memelihara dan membesarkan NU dengan ilmunya, baru kemudian dengan hartanya dan tenaganya. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika orang menyebut Kyai Wahab adalah ruh sekaligus motor penggerak NU, sejak NU berwujud kelompok kecil yang tidak diperhitungkan orang sampai menjadi partai politik dan jam’iyah Islam terbesar di Indonesia.

    Lahir dan Besar di Pesantren

    Kyai Wahab lahir dari pasangan Kyai Chasbullah dan Nyai Lathifah pada bulan Maret 1888 di Tambakberas Jombang. Keluarga Chasbullah, pengasuh Pondok Tambakberas masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan ulama paling masyhur di awal abad ke-20 yang sama-sama dari Jombang, yaitu Kyai Haji Hasyim Asy’ari. Nasab keduanya bertemu dalam satu keturunan dengan Kyai Abdussalam. Konon jika diurut ke atas, nasab keluarga ini akan bermuara pada Lembu Peteng, salah seorang raja di Majapahit.
    Sepeninggal isteri pertamanya di Mekkah sewaktu menjalankan ibadah haji tahun 1921, Kyai Wahab memperisteri Alawiyah, puteri Kyai Alwi. Setelah memperoleh seorang anak, isteri keduanya ini pun meninggal. Sesudah itu Kyai Wahab pernah tiga kali menikah, tetapi tidak berlangsung lama dan tidak dikaruniai anak. Kemudian kawin lagi dengan Asnah, puteri Kyai Said, pedagang dari Surabaya dan memperoleh empat orang anak, salah satunya Kyai Nadjib (almarhum) yang melanjutkan mengasuh Pesantren Tambakberas.

    Setelah Asnah meninggal, Kyai Wahab menikah dengan Fatimah, anak Haji Burhan dan tidak memperoleh keturunan. Tetapi dari Fatimah beliau memperoleh anak tiri, diantaranya Kyai Haji A. Sjaichu. Setelah itu Kyai Wahab pernah kawin dengan Masmah, memperoleh seorang anak. Kawin dengan Ashikhah, anak Kyai Abdul Madjid Bangil, yang meninggal setelah beribadah haji dan memperoleh empat orang anak. Terakhir Kyai Wahab memperisteri Sa’diyah, kakak Ashikhah, sampai akhir hayatnya pada 1971 dan memperoleh lima orang anak.

    Seperti kebanyakan pola hidup yang diterapkan dipesantren, Kyai Wahab juga menganut pola hidup sederhana, meskipun dia tidak bisa digolongkan sebagai tidak berkecukupan. Untuk memenuhi nafkah keluarganya, Wahab berdagang apa saja asal halal. Diantaranya pernah berdagang nila dan pernah menjadi perwakilan sebuah biro perjalanan haji. Kebanyakan dari bidang usahanya itu dipercayakan kepada orang lain dengan cara bagi hasil.

    Bekal utama bagi pendidikan Wahab kecil yang diberikan sendiri oleh ayahnya adalah pelajaran agama dan membaca al-Qur’an serta tasawuf. Baru sesudah dipandang cukup, Wahab berkelana ke berbagai pesantren untuk berguru, di antaranya di Pesantren Langitan, Tuban; Mojosari, Nganjuk di bawah bimbingan Kyai Sholeh; Pesantren Cepoko; Pesantren Tawangsari, Surabaya; Pesantren Kademangan Bangkalan, Madura, dan langsung berguru kepada Kyai Cholil yang masyhur itu. Oleh Kyai Cholil, Kyai Wahab disuruh berguru di Pesantren Tebuireng, Di berbagai pesantren inilah kehidupan Wahab ditempa dan dia mempelajari banyak kitab penting keagamaan sampai mahir betul.

    Pada usia 27 tahun Kyai Wahab meneruskan perjalanannya ke Mekkah. Di kota suci itu dia bertemu dan kemudian berguru dengan Ulama-Ulama terkenal diantaranya Kyai Machfudz Termias, Kyai Muhtarom Banyumas, Syaikh Ahmad Chotib Minangkabau, Kyai Bakir Yogyakarta, Kyai Asya’ri Bawean, Syaikh Said al-Yamani dan Syaikh Umar Bajened. Semua itu menambah lengkapnya wawasan sosial dan peningkatan pengetahuan keagamaan Kyai Wahab. Melihat riwayat pendidikannya tersebut, tidak heran jika di kalangan Ulama dan para pejuang sebayanya waktu itu Kyai Wahab tampak paling menonjol dari segi pemikiran dan keilmuannya.

    Sebagai Pemikir-Pejuang

    Bakat kepemimpinan dan kecerdasan Kyai Wahab Chasbullah sesungguhnya sudah mulai tampak di pesantren. Di sela-sela kegiatan belajar, Wahab memimpin kelompok belajar dan diskusi santri secara rutin. Dalam kelompok itu dibahas masalah sosial kemasyarakatan, di samping pelajaran agama. Tidak heran jika sepulang dari berbagai pesantren, Kyai Wahab sama sekali tidak canggung terjun ke masyarakat, mempraktikkan apa yang sudah dipelajari.

    Melihat kenyataan sosial yang waktu itu sedang dalam tekanan penjajah Belanda dengan berbagai akibatnya, Kyai Wahab berpikir keras bagaimana dapat menyumbangkan pikirannya yang progresif untuk memperbaiki keadaan. Dari sinilah kemudian Kyai Wahab melakukan kontak dengan teman-teman belajarnya, baik sewaktu di pesantren maupun ketika menuntut ilmu di Tanah Suci untuk membicarakan masalah ini. Akhirnya bersama Kyai Mas Mansur kawan mengaji di Mekkah, dia membentuk kelompok diskusi Tashwirul Afkar (Pergolakan Pemikiran) di Surabaya pada 1914. Mula-mula kelompok ini mengadakan kegiatan dengan peserta yang terbatas. Tetapi berkat prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat yang diterapkan dan topik-topik yang dibicarakan mempunyai jangkauan kemasyarakatan yang luas, dalam waktu singkat kelompok ini menjadi sangat populer dan menarik perhatian di kalangan pemuda. Banyak tokoh Islam dari berbagai kalangan bertemu dalam forum itu untuk mendebatkan dan memecahkan permasalahan pelik yang dianggap penting.

    Tashwirul Afkar tidak hanya menghimpun kaum ulama pesantren. Ia juga menjadi ajang komunikasi dan forum saling tukar informasi antar tokoh nasionalis sekaligus jembatan bagi komunikasi antara generasi muda dan generasi tua. Dari posnya di Surabaya, kelompok ini menjalar hampir ke seluruh kota di Jawa Timur. Bahkan gaungnya sampai ke daerah-daerah lain seluruh Jawa. Tampaknya kelompok ini tidak hanya bermaksud mendiskusikan masalah-masalah kemasyarakatan yang muncul, tetapi juga menggalang kaum intelektual dari tokoh-tokoh pergerakan. Jelas pemrakarsa kelompok ini memasukkan unsur-unsur kekuatan politik untuk menentang penjajahan. Karena sifat rekrutmennya yang lebih mementingkan progresivitas berpikir dan bertindak, maka jelas pula kelompok diskusi ini juga menjadi forum pengkaderan bagi kaum muda yang gandrung pada pemikiran keilmuan dan dunia politik. Bersamaan dengan itu, dari rumahnya di Kertopaten, Surabaya, Kyai Wahab masih bersama Mas Mansur menghimpun sejumlah ulama dalam organisasi Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) yang mendapatkan kedudukan badan hukumnya pada 1916. Dari organisasi inilah Kyai Wahab mendapat kepercayaan dan dukungan penuh dari ulama pesantren yang kurang-lebih sealiran dengannya. Di antara ulama yang berhimpun itu adalah Kyai M. Bisri Syansuri Jombang, Kyai Abdul Halim Leimunding, Cirebon, Kyai Haji Alwi Abdul Aziz, Kyai Ma’shum dan Kyai Cholil Lasem. Di kalangan pemudanya disediakan wadah Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air) yang di dalamnya, antara lain ada nama Abdullah Ubaid. Dalam kelompok inilah Kyai Wahab mulai memimpin dan menggerakkan perjuangan pemikiran berdasarkan keagamaan dan nasionalisme.

    Sayang sekali hanya karena perbedaan khilafiyah saja duet Wahab-Mas Mansur harus retak dan kemudian berpisah. Jika tidak, mungkin perkembangan sejarah ormas Islam atau lebih besar lagi umat Islam Indonesia akan berbicara lain. Perbedaan pandangan dengan Mas Mansur tidak menjadikan Wahab mundur dari penggalangan pemikiran di kalangan pemuda saat itu. Jiwanya yang bebas dan selalu ingin mencari penyelesaian masalah menjadikan ia terus melakukan kontak dengan tokoh-tokoh pergerakan dan tokoh keagamaan lainnya. Dengan pendiri Al-Irsyad, Syaikh Achmad Syurkati di Surabaya misalnya, Kyai Wahab tidak segan-segan melakukan diskusi mengenai masalah keagamaan. Sedangkan dengan tokoh pendiri Muhammadiyah Kyai Ahmad Dahlan, Kyai Wahab sering bertandang ke Yogyakarta untuk bertukar pikiran dengannya. Dan ketika kaum terpelajar Surabaya mendirikan Islam Studie Club yang banyak dihadiri oleh kaum pergerakan, Kyai Wahab tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk memanfaatkan forum tersebut. Dalam forum inilah Kyai Wahab berkawan akrab dengan Dr. Soetomo dan lain-lain.

    Tidak bisa disangkal lagi bahwa melalui Tashwirul Afkar, Nahdlatul Wathan dan Syubbanul Wathan, maupun Islam Studie Club solidaritas di kalangan kaum pergerakan dan tokoh keagamaan kian memuncak. Hal seperti ini menimbulkan dampak makin bergelora semangat cinta tanah air di kalangan pemuda. Akan tetapi juga tidak bisa dihindari, karena terjadinya gesekan kepentingan dan makin menajamnya perselisihan paham keagamaan antar tokoh agama, timbul polarisasi yang tajam di kalangan mereka, meskipun tidak sampai mengorbankan kepentingan yang lebih besar, yaitu cita-cita memerdekakan Indonesia. Kyai Haji Mas Mansur misalnya’ harus kembali ke organisasinya, Muhammadiyah dan Kyai Wahab terus melanjutkan penggalangan solidaritas ulama dalam forum tersebut.

    Kristalisasi di kalangan organisasi tersebut makin keras bersamaan dengan munculnya khilafat baik di Turki maupun di Saudi Arabia yang kemudian ditarik garis lurusnya yang bermuara pada masalah perselisihan paham keagamaan. Yaitu terjadinya perselisihan antara paham Islam bermazhab dan tidak bermazhab.

    Menjawab tantangan yang diakibatkan oleh perselisihan ini pada mulanya tokoh-tokoh seperti Kyai Wahab, HOS. Cokroaminoto, Kyai Ahmad Dahlan, Haji Agus Salim dan Kyai Mas Mansur sendiri masih menampung seluruh aspirasi umat dengan cara sebaik-baiknya. Akan tetapi, ketika menentukan siapa yang harus berangkat ke Kongres Khilafat di Timur Tengah, situasi makin meruncing. Buntut dari diabaikannya keterlibatan ulama pesantren dalam Kongres Khilafat itu, muncullah kelompok yang di kemudian hari terkenal dengan Komite Hijaz. Komite ini mengirimkan delegasi ke Mekkah, terdiri atas Kyai Wahab dan Syaikh Ghanaim, yang akhirnya berhasil menggolkan misinya di hadapan Raja Saud.

    Perjuangan Politik

    Akhirnya sampailah pada saat yang amat bersejarah, yaitu ketika pada 31 Januari 1926, di Surabaya tokoh-tokoh Komite Hijaz, diantaranya Kyai Wahab, Kyai M. Bisri Syansuri, Kyai Ridwan Semarang, Kyai Haji Raden Asnawi Kudus, Kyai Nawawi Pasuruan, Kyai Nachrowi Malang dan Kyai Alwi Abdul Aziz Surabaya, berembuk dan menyimpulkan dua hal pokok:

    Pertama, mengirimkan delegasi ke Kongres Dunia Islam di Mekkah untuk memperjuangkan kepada Raja Saud agar hukum-hukum menurut mazhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali) mendapat perlindungan dan kebebasan dalam wilayah kekuasaannya; dan

    Kedua, membentuk suatu jam’iyah bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) yang bertujuan menegakkan berlakunya syariat Islam yang berhaluan salah satu dari empat mazhab tersebut.

    Nama Nahdlatul Ulama diusulkan oleh Kyai Haji Alwi Abdul Aziz Surabaya. Ketika penyusunan kepengurusan, Kyai Wahab konon tidak bersedia menduduki jabatan Rois Akbar dan merasa cukup dengan jabatan Katib ‘Am (Sekretaris Umum) Syuriah. Jabatan tertinggi organisasi baru ini diserahkan kepada Kyai Haji Hasyim Asy’ari Jombang, sedangkan Presiden (Ketua) Tanfidziyah dipegang Hasan Gipo.

    Demikianlah, Nahdlatul Ulama telah lahir. Dalam waktu yang relatif singkat 10 tahun, organisasi yang semula hanya berlingkup lokal Surabaya ini bisa melebarkan sayapnya dan diterima oleh kalangan ulama di seluruh Pulau Jawa, bahkan sampai ke Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Maluku. Ini semua berkat kegigihan para ulama menyebarkan ide-ide keagamaan dan kemasyarakatannya, terutama melalui jaringan pesantren. Lima tahun kemudian kiprah Nahdlatul Ulama tidak hanya terbatas pada masalah keagamaan dan kemasyarakatan secara tradisional, tetapi sudah mulai mengadopsi model pendidikan Barat dengan mendirikan sekolah-sekolah dan madrasah-madrasah, mendirikan koperasi dan menggalang ekonomi rakyat pedesaan di bidang pertanian, nelayan dan usaha kecil. Di bidang politik NU memunculkan tokoh-tokoh muda yang berpikiran modern, seperti Kyai Wahid Hasyim, Kyai Masykur, Zainul Arifin, Idham Chalid dan Saifuddin Zuhri. Pada masa pasca proklamasi andil Kyai Wahab baik dalam kancah politik nasional maupun pengembangan organisasi NU sangat menonjol. Pada awal kemerdekaan, Kyai Wahab bersama kaum pergerakan lainnya seperti Ki Hajar Dewantoro, Dr. Douwes Dekker, Dr. Rajiman Wedyodiningrat, duduk dalam Dewam Pertimbangan Agung, kemudian berkali-kali duduk dalam kursi parlemen sampai akhir hayatnya pada 1971. Akan tetapi peran paling menonjol dari Kyai Wahab dalam hal ini adalah sebagai negosiator antara kepentingan NU dan pihak pemerintah. Tidak heran dengan fungsinya itu Kyai Wahab sangat dekat dengan presiden dan pejabat tinggi lainnya. Dalam intern NU sendiri puncak karier Kyai Wahab adalah ketika bersama-sama tokoh muda lainnya seperti Kyai Wahid Hasyim dan Idham Chalid menjadikan NU sebagai partai politik bersaing dengan partai lainnya yang lebih dahulu mapan dalam gelanggang politik Indonesia dan diterima secara bulat dalam Muktamar NU tahun 1952.

    Pada waktu itu situasi hubungan antara NU dan Masyumi dan juga tokoh- tokohnya amat tegang. Meskipun Dr. Sukiman sendiri menyaksikan peristiwa keluarnya NU dari Masyumi, hal itu tidak cukup untuk mengatasi situasi tersebut. Situasi ragu dan tegang juga menghantui pengikut dan pimpinan NU yang semula duduk dan aktif dalam Masyumi. Dalam situasi seperti itu, Kyai Wahab tampil dengan sikap khasnya, yaitu tegas dan berwibawa.

    Katanya, “Siapa yang masih ragu, silakan tetap dalam Masyumi. Saya akan pimpin sendiri partai ini (NU). Saya hanya memerlukan seorang sekretaris dan Tuan-tuan silahkan lihat apa yang akan saya lakukan!”

    Beberapa tahun kemudian, dalam Pemilu 1955 NU keluar sebagai salah satu partai terbesar di samping PKI, PNI dan Masyumi. Memang Kyai Wahab bukan satu-satunya tokoh yang berperan dalam membesarkan NU, akan tetapi peranan Wahab amat menonjol. Dalam hal ini yang lebih menarik untuk dilihat adalah konsistensi Kyai Wahab dalam merealisasikan gagasan sejak dia merintis munculnya tradisi keilmuan melalui kelompok diskusi, penggalangan solidaritas antara sesama kaum agama dan antara kaum agama dengan tokoh-tokoh nasionalis, Sampai penggalangan Ulama pesantren dalam mendirikan NU.

    Kyai Wahab juga dikenal sebagai pengatur strategi perjuangan NU yang baik dalam kancah pergolakan dan turun naiknya politik Islam, mulai dari pembentukan MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia), GAPPI (Gabungan Partai Politik Indonesia), Masyumi sampai NU keluar dari partai Islam tersebut. Di sini Kyai Wahab terlibat dalam pergumulan dengan tokoh- tokoh terkemuka, seperti Kyai Mas Mansur, Dr. Sukiman, Abikusno Cokrosuyoso, Mr. Sartono, Sukarjo Wiryopranoto, Amir Syarifuddin dan lain-lain.

    Tradisi Jurnalistik di NU

    Bukan Kyai Wahab jika tidak memutar otak, selalu “gelisah” mencari cara mewujudkan cita-citanya. Bersama tokoh NU lainnya, Kyai Wahab pernah membeli sebuah percetakan beserta sebuah gedung sebagai pusat aktivitas NU di Jalan Sasak 23 Surabaya. Dari sini kemudian dia merintis tradisi jurnalistik modern dalam NU. Ini dilandasi oleh pemikiran Wahab yang sesungguhnya amat sederhana, yaitu bagaimana menyebarkan gagasan NU secara lebih efektif dan efisien yang selama ini dijalankan melalui dakwah panggung dan pengajaran di pesantren.

    Mulai saat itu diterbitkan majalah tengah bulanan Suara Nahdlatul Ulama. Selama tujuh tahun majalah ini dipimpin oleh Kyai Wahab sendiri. Teknis redaksional dari majalah tersebut lalu disempurnakan oleh Kyai Mahfudz Siddiq dan menjadi Berita Nahdlatul Ulama. Disamping itu terbit pula Suluh Nahdlatul Ulama di bawah asuhan Umar Burhan. Lalu Terompet Ansor dipimpin oleh Tamyiz Khudlory; dan majalah berbahasa Jawa Penggugah, dipimpin oleh Kyai Raden Iskandar yang kemudian digantikan oleh Saifuddin Zuhri. Dari tradisi kepenulisan ini NU pernah mempunyai jurnalis-jurnalis ternama seperti Asa Bafaqih, Saifuddin Zuhri dan Mahbub Junaidi. Juga memiliki surat kabar prestisius seperti Duta Masyarakat.

    Tidak salah lagi, Kyai Wahab adalah pemegang andil terbesar dalam meletakkan dasar-dasar organisasi NU dalam hampir semua sektor; dari mulai tradisi intelektual, peletak dasar struktur Syuriah dan Tanfidziyah organisasi NU, jurnalistik, sampai siasat bertempur di medan laga. Dalam hal yang terakhir ini ucapannya yang paling populer adalah, “Kalau kita mau keras harus punya keris.” Keris dalam hal ini diibaratkan Kyai Wahab sebagai suatu kekuatan, kekuatan politik, militer dan batin. Itulah sebabnya Kyai Wahab juga gigih dan terjun sendiri bersama pasukan Hizbullah (di bawah pimpinan Kyai Haji Zainal Arifin), pasukan Sabilillah (di bawah pimpinan Kyai Haji Masykur) dan Barisan Kyai (yang dipimpin sendiri) dalam berperang melawan penjajah.

    Kyai Wahab juga dikenal jago bersilat dan ber-”wirid”. Konon di mana- mana Kyai Wahab menyebar ijazah, macam-macam Hizb, doa dan wirid kepada seluruh warga NU dan siapa saja yang memerlukan kekebalan diri. Beliau ternyata bukan hanya berwibawa dan disegani karena ilmunya, melainkan juga karena “wirid”-nya.

    Ulama Tiga Zaman

    Demikianlah Kyai Wahab Chasbullah, ulama yang diberkati Tuhan memperoleh kesempatan hidup dalam tiga zaman, (1) zaman pergerakan kemerdekaan; (2) sesudah proklamasi kemerdekaan; dan (3) masa Orde Baru. Kiai ini pernah merasakan pahit getirnya hidup, dan banyak teladan yang ditinggalkan bagi generasi sesudahnya. Dalam masa kepemimpinannya dia juga tidak lepas dari ejekan, fitnah dan hinaan disamping tentu saja sanjungan dan hormat. Pada zaman Orde Lama misalnya, banyak orang mengejek Kyai Wahab sebagai “Kyai Nasakom” atau “Kyai Orla” lantaran NU menerima konsep Nasakom dan dekat dengan Bung Karno. Padahal kata Kyai Saifuddin Zuhri, semua orang dan semua organisasi waktu itu menerima Nasakom termasuk ABRI. Ya, siapa yang berani menentang Bung Karno waktu itu?

    Menanggapi hal ini Kyai Wahab berjiwa besar dan menanggapi dengan tertawa enteng. “Ha..ha..ha.. Ya biarkan saja,” katanya. “Ejekan itu masih belum apa-apa dibanding dengan ejekan terhadap Nabi Muhammad SAW yang dianggap gila. Saya kan masih belum dianggap gila,” katanya.

    Yang jelas, hampir sepanjang hidupnya, perhatian, pemikiran, harta dan tenaganya dicurahkan untuk mewujudkan cita-cita Islam dan bangsa melalui Nahdlatul Ulama. Tidak heran jika Kyai Wahab tidak pernah absen selama 25 kali Muktamar NU.
    Saat sakit dan menjelang wafatnya, Kyai Wahab masih berkeinginan bisa menghadiri Muktamar ke-25 di Surabaya dan berharap bisa ikut memberikan suaranya bagi partai NU dalam pemilu tahun 1971. Keinginan itu dikabulkan Tuhan. Dan, sekali lagi dalam Muktamar Surabaya, kyai kondang ini terpilih sebagai Rois ‘Am PB Syuriah NU. Empat hari kemudian setelah Muktamar Surabaya, ulama yang banyak berjasa terhadap bangsa ini dipanggil Tuhan. Dia wafat di rumahnya yang sederhana, di Kompleks Pesantren Tambakberas, Jombang pada 29 Desember 1971.

    Dalam khutbah iftitahnya yang terakhir sebagai Rois ‘Am, Kyai Wahab masih sempat berharap, “Supaya NU tetap menemukan arah jalannya di dalam mensyukuri nikmat karunia Allah SWT, sebagai suatu partai terbesar (dalam arti besar amal saleh dan hikmahnya kepada bangsa dan negara), melalui cara-cara yang sesuai dengan akhlak Ahlussunnah wal- Jama’ah.”

    Diingkatkan pula agar kaum Nahdliyin kembali pada jiwa Nahdlatul Ulama tahun 1926. Dan sekarang ini NU telah kembali ke khittah 1926. Mengikuti harapan Kyai Wahab.

    TAMMAT
    *Disadur dari buku:
    “KARISMA ULAMA, Kehidupan Ringkas 26 Tokoh NU”,


    Baca Selengkapnya...

    12.25.2008

    MINIBIOGRAFI GUS DUR




    Abdurrahman "Addakhil", demikian nama lengkapnya. Secara leksikal, "Addakhil" berarti "Sang Penakluk", sebuah nama yang diambil Wahid Hasyim, orang tuanya, dari seorang perintis Dinasti Umayyah yang telah menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol. Belakangan kata "Addakhil" tidak cukup dikenal dan diganti nama "Wahid", Abdurrahman Wahid, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. "Gus" adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berati "abang" atau "mas".

    Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara yang dilahirkan di Denanyar Jombang Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940. Secara genetik Gus Dur adalah keturunan "darah biru". Ayahnya, K.H. Wahid Hasyim adalah putra K.H. Hasyim Asy'ari, pendiri jam'iyah Nahdlatul Ulama (NU)-organisasi massa Islam terbesar di Indonesia-dan pendiri Pesantren Tebu Ireng Jombang. Ibundanya, Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, K.H. Bisri Syamsuri. Kakek dari pihak ibunya ini juga merupakan tokoh NU, yang menjadi Rais 'Aam PBNU setelah K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Dengan demikian, Gus Dur merupakan cucu dari dua ulama NU sekaligus, dan dua tokoh bangsa Indonesia.

    Pada tahun 1949, ketika clash dengan pemerintahan Belanda telah berakhir, ayahnya diangkat sebagai Menteri Agama pertama, sehingga keluarga Wahid Hasyim pindah ke Jakarta. Dengan demikian suasana baru telah dimasukinya. Tamu-tamu, yang terdiri dari para tokoh-dengan berbagai bidang profesi-yang sebelumnya telah dijumpai di rumah kakeknya, terus berlanjut ketika ayahnya menjadi Menteri agama. Hal ini memberikan pengalaman tersendiri bagi seorang anak bernama Abdurrahman Wahid. Secara tidak langsung, Gus Dur juga mulai berkenalan dengan dunia politik yang didengar dari kolega ayahnya yang sering mangkal di rumahnya.

    Sejak masa kanak-kanak, ibunya telah ditandai berbagai isyarat bahwa Gus Dur akan mengalami garis hidup yang berbeda dan memiliki kesadaran penuh akan tanggung jawab terhadap NU. Pada bulan April 1953, Gus Dur pergi bersama ayahnya mengendarai mobil ke daerah Jawa Barat untuk meresmikan madrasah baru. Di suatu tempat di sepanjang pegunungan antara Cimahi dan Bandung, mobilnya mengalami kecelakaan. Gus Dur bisa diselamatkan, akan tetapi ayahnya meninggal. Kematian ayahnya membawa pengaruh tersendiri dalam kehidupannya.

    Dalam kesehariannya, Gus Dur mempunyai kegemaran membaca dan rajin memanfaatkan perpustakaan pribadi ayahnya. Selain itu ia juga aktif berkunjung keperpustakaan umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun Gus Dur telah akrab dengan berbagai majalah, surat kabar, novel dan buku-buku yang agak serius. Karya-karya yang dibaca oleh Gus Dur tidak hanya cerita-cerita, utamanya cerita silat dan fiksi, akan tetapi wacana tentang filsafat dan dokumen-dokumen manca negara tidak luput dari perhatianya. Di samping membaca, tokoh satu ini senang pula bermain bola, catur dan musik. Dengan demikian, tidak heran jika Gus Dur pernah diminta untuk menjadi komentator sepak bola di televisi. Kegemaran lainnya, yang ikut juga melengkapi hobinya adalah menonton bioskop. Kegemarannya ini menimbulkan apresiasi yang mendalam dalam dunia film. Inilah sebabnya mengapa Gu Dur pada tahun 1986-1987 diangkat sebagai ketua juri Festival Film Indonesia.

    Masa remaja Gus Dur sebagian besar dihabiskan di Yogyakarta dan Tegalrejo. Di dua tempat inilah pengembangan ilmu pengetahuan mulai meningkat. Masa berikutnya, Gus Dur tinggal di Jombang, di pesantren Tambak Beras, sampai kemudian melanjutkan studinya di Mesir. Sebelum berangkat ke Mesir, pamannya telah melamarkan seorang gadis untuknya, yaitu Sinta Nuriyah anak Haji Muh. Sakur. Perkawinannya dilaksanakan ketika ia berada di Mesir.
    sumber dari news.okezone
  • Klik disini
  • untuk melihat humor ala Gus Dur

    Baca Selengkapnya...
     

    Kunjungan

    Aktifitas

    Uzy Ibni Muhammad Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template