4.01.2022

MANAJEMEN ILMU DALAM BERFIKIR SISTEM ( Ketuhanan – Kenabian – Keagamaan)


Sistem merupakan kesatuan elemen-elemen yang berinteraksi secara dinamik dengan tujuan tertentu. Sistem bersifat hirarki yang tersusun dari subsistem-subsistem yang merupakan ssstem tersendiri. Sistem alam termasuk tubuh manusia dan makhluk hidup lain, sistem rekayasa dirancang oleh manusia yang disebut sistem mesin, sistem sosial dan sistem kegiatan serta sistem kepercayaan.

Dalam suatu sistem kepercayaan, orang membayangkan wujud dari dunia yang gaib, termasuk wujud dewa-dewa (theogoni), makhluk-makhluk halus, kekuatan sakti, keadaan ruh-ruh manusia yang telah meninggal, maupun wujud dari bumi dan alam semesta (yang disebut ilmu kosmogoni dan kosmologi). Sistem kepercayaan itu ada yang berupa konsepsi mengenai paham-paham yang terbentuk dalam pikiran para individu penganut suatu agama, tetapi terdapat juga berupa konsepsi-konsepsi serta faham-faham yang dibakukan di dalam dongeng-dongeng serta aturan-aturan. Dongeng-dongeng dan aturan-aturan ini biasanya merupakan kesusasteraan suci yang dianggap keramat (Koentjaraningrat, 2005: 203-204)

Kemurnian aqidah dalam Islam dikenal dengan tauhid. Tauhid berarti keyakinan tentang adanya Allah Yang Maha Esa, yang tidak ada sesuatu pun yang menyamai-Nya dalam zat, sifat atau perbuatan-perbuatan-Nya; yang mengutus para rasul untuk menunjukkan dunia dan umat manusia ke jalan yang benar; yang meminta pertanggungjawaban hamba di kehidupan akhirat dan membalas perbuatan baik atau buruk yang dilakukannya di dunia (Musa, 1988: 45). Melalui pengenalan tauhid, seorang Muslim akan menyadari bahwa Tuhan adalah dimensi yang memungkinkan adanya dimensi-dimensi lain; Dia memberikan arti dan kehidupan kepada setiap sesuatu. Dia serba meliputi; secara harfiah Dia adalah tak terhingga dan hanya Dia sajalah yang tak terhingga. Di dalam kehidupan, setiap sesuatu yang selain-Nya, terlihat tanda keterhinggaannya dan tanda bahwa ia adalah ciptaan Tuhan (Rahman, 1980: 4). Dia adalah pencipta dan pengatur alam semesta serta seluruh kehidupan manusia. Apa pun aktivitas manusia selalu berada dalam pengawasan-Nya dan akan dipertanggung-jawabkan kelak di akhirat nanti di hadapan pengadilan-Nya.

Mengenal Allah adalah keniscayaan dan kewajiban yang paling utama bagi umat Muslim. Menurut kelompok Asy’ariah, instrumen akal manusia hanya mampu mengenal Allah semata. Tetapi, pastilah berasal dari wahyu yang lebih kompatibel ketimbang akal yang serba terbatas dan tumpul tentang keharusan mengenal Allah dalam hal-hal yang tidak sekedar menggunakan pengalaman indrawi dan bersifat eksperimental. Kaum Asya’ri percaya bahwa Al-Qur’an itu adalah firman yang kekal, abadi dan bukan makhluk. Pandangan ini didasarkan pada pemahaman bahwa kalam sebagai salah satu sifat Allah adalah kekal dan abadi. Allah itu transenden, makhluk apa pun tidak ada yang dapat menyerupainya dan melampui segala sesuatu. Hanya sifat-sifat-Nya saja yang mungkin bisa dipakai untuk menggambarkan tentang Allah. Di sisi lain Wahyu sebagai penopang pengetahuan tentang Allah, tetap saja ada keterbatasan, sebab wahyu adalah informasi mentah yang tak mungkin bisa dipahami kecuali melalui akal pikiran. Sementara akal dibatasi dalam mengetahui sesuatu. Kinerja akal tidaklah terbatas, tetapi produk pikiran memiliki keterbatasan serta akan menemukan kebuntuan ketika bersinggungan dengan hal ghaib atau di luar pengalaman materi.

Para nabi adalah individu-individu yang telah ditanamkan Tuhan suatu kemampuan alamiah untuk mampu melepaskan dimensi kemanusiaannya. Suatu kapasitas yang tentu saja khusus hanya dimiliki mereka untuk bisa mengubah kemanusiaan dan spiritualitas manusia menjadi tingkat tertinggi kemalaikatan, sehingga mereka bisa mempelajari semua hal di sana tanpa bantuan organ tubuh fisik. Kemudian mereka membawa kembali apa yang telah mereka pelajari itu ke tingkat kemampuan pemahaman manusia, dengan begitu pengetahuan itu bisa diajarkan kepada manusia. Peristiwa inilah yang kemudian disebut dengan “nubuwwah” (kenabian). Dengan demikian, karena wahyu diperoleh dengan jalan melepaskan diri dari pengaruh dan tuntutan fisik untuk memusatkan perhatian dan mengadakan komunikasi dengan spiritual tertinggi (yakni malaikat) sehingga bisa memahami bagaimana mendefinisikan hal-hal dan tindakan-tindakan yang mengarahkan kepada kebahagiaan dunia akhirat, maka kebenaran yang dibawanya adalah kebenaran dari Tuhan yang terjaga keotentikannya dan harus dijadikan pedoman manusia (diimani). Oleh karena para nabi adalah orang-orang penerima wahyu, maka secara otomatis mereka adalah maksum.

Sepanjang menyangkut kebenaran pesan yang disampaikan, dapat disimpulkan bahwa semua nabi adalah sama dalam satu mata rantai yang berkesinambungan. Aspek eksoterik kenabian menuntun pada ditemukannya beragam kepribadian nabi beserta klaim-klaim kebenaran dan kehadirannya. Sementara aspek esoterik kenabian merunut pada cara pandang nilai-nilai yang bersifat abadi tidak hanya menekankan aspek ilahiah dan ketakterhinggaan (keajaiban) yang menyertainya, namun juga aspek kemanusiaan yang ditandai dengan keseimbangan (ekuilibrium) nilai-nilai dalam kehidupan di tengah manusia dan kefanaan di hadapan Yang Maha Esa. Sosok kenabian yang ideal pada diri nabi Umat Islam yaitu Nabi Muhammad SAW yang bercirikan keseimbangan nilai kemurahan hati, kedamaian, dan kekuatan, selanjutnya juga antara nilai kemuliaan hati, kejujuran, dan ketenangan hati. Seorang nabi adalah manusia primordial karena keterkaitannya dengan intelek Ilahi. Nabi juga adalah manusia sempurna, karena eksistensinya yang mewujudkan keutuhan kebajikan di dunia secara universal sesuai kehendak-Nya.

Agama berada pada wilayah Ketuhanan. Tapi agama sebagai ajaran langit yang masuk pada realitas bumi disampaikan dengan bahasa manusia, kemudian mengakar dalam aktivitas kehidupan manusia hingga saat ini dengan berbagai dinamika dan pasang-surutnya, yang biasa disebut dengan cara beragama.

Agama bila ditinjau secara deskriptif adalah sebagai suatu keyakinan manusia terhadap kekuatan yang melampaui dirinya, kemana ia mencari pemuas kebutuhan emosional dan mendapat ketergantungan hidup yang diekspresikan dalam bentuk penyembahan dan pengabdian. (Ahmad Norman P, Metodology Study Agama)

Agama sebagai refleksi atas cara beragama tidak hanya terbatas pada kepercayaan saja, akan tetapi merefleksikan dalam perwujudan-perwujudan tindakan kolektivitas umat (keagamaan). Aktivitas keagamaan suatu umat beragama bukan hanya relasi dengan Allah swt. namun juga meliputi relasi dengan sesama makhluk.

Keagamaan muncul dari adanya pengalaman keagamaan. Pada dasarnya agama itu lahir dan timbul dalam jiwa manusia, merupakan kebutuhan rohani yang tidak bisa diabaikan keberadaannya, karena hal tersebut dapat menimbulkan adanya perasaan yang menjadi pendorong utama timbulnya rasa keberagamaan.


Bentuk-bentuk
aktivitas keagamaan dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian, masing-masing bagian memiliki kriteria tersendiri; 

Ibadah Person, suatu aktivitas yang pelaksanaannya tidak perlu melibatkan orang lain, melainkan semata-mata terganrtung kepada kesediaan yang bersangkutan sebagai makhluk yang bebas, yang termasuk dalam ibadah ini seperti shalat, puasa dan sebagainya.

Ibadah Antarperson, suatu amaliah yang pelaksanaannya tergantung pada prakarsa pihak yang bersangkutan selaku hamba Allah yang otonom, misalnya pernikahan.

Ibadah Sosial, kegiatan interaktif antara seorang individu dengan pihak lain yang dibarengi dengan kesadaran diri sebagai hamba Allah.

Pikiran memang bisa menghasilkan hal-hal abstak, ia bisa berpikir tentang wujud yang tidak memiliki preferensinya dengan realitas. Seperti konsep, angka dan abstraksi-abstraksi realitas, tetapi pada saat yang sama akal tidak mampu masuk ke dimensi lain selain realitas empiris yang memiliki akar-akar inderawi. Hal ini sudah cukup dalam menggambarkan betapa pikiran sangat terbatas dan tidak akan mampu mengetahui Allah kecuali ditopang oleh wahyu.

Meminjam istilahnya Nawal El Saadawi, “Tuhan tidak keluar dari percetakan.” Artinya, kita tidak boleh berhenti belajar, banyak ilmu dan pengetahuan yang bisa kita pahami, di manapun dan dari manapun, agar kita diberikan kemampuan oleh Allah untuk mencerna fenomena yang terjadi di dunia ini dengan baik dan bijaksana.. Wallahu a’lam bisshawab

Baca Selengkapnya...

9.30.2021

JEJAK ULAMA DAN SANTRI DALAM PERTEMPURAN BOJONGKOKOSAN 1945

oleh : Rahmat Fauzi, S.IP, S.Pd


Abstraksi

Menjelang akhir masa pendudukan Jepang di Nusantara, tak terkecuali di Sukabumi, kalangan ulama turut berperan serta aktif dalam persiapan kemerdekaan Republik Indonesia. Tokoh ulama Sukabumi yang paling menonjol saat itu adalah KH Ahmad Sanusi dan Mr Sjamsoedin -yang juga merupakan santri dari KH Ahmad Sanusi. Keduanya terpilih menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) dan turut mempersiapkan kemerdekaan Indonesia bersama para pemimpin nasional lainnya.

Saat kabar Jepang bertekuk lutut kepada Sekutu dalam Perang Pasifik tersiar ke seluruh penjuru Nusantara disusul oleh kumandang Proklamasi Sukarno-Hatta, Sukabumi tak ketinggalan merayakan euforia-nya. Tercatat Masjid Agung Sukabumi menjadi salah satu tempat yang pertama kali mengibarkan bendera Merah Putih menyambut proklamasi kemerdekaan. Itu secara tidak langsung juga menunjukkan dukungan para ulama Sukabumi atas berdirinya Republik.

Para ulama juga menggaungkan perebutan kekuasaan di Sukabumi dari pasukan pendudukan Jepang. Bersama dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang dibentuk Pemerintah Republik Indonesia, para ulama Sukabumi memacu semangat nasionalisme untuk merebut kekuasaan dari pasukan pendudukan Jepang di Sukabumi.

Bahkan seorang ulama, KH Atjoen Basjoeni, terjun langsung menjadi bagian dari BKR. Beliau diangkat menjadi ketua BKR Sukabumi. Sayangnya beliau kemudian diculik dan dibunuh orang-orang tak dikenal saat ditugaskan ke Yogyakarta.

Dari luar BKR, para ulama dan santri Sukabumi yang tergabung dalam barisan laskar Hisbullah dan Sabilillah menjadi komponen penting dalam Perang Konvoi (9-12 Desember 1945) yang sukses menghancurkan mental serdadu Sekutu yang merupakan pemenang Perang Dunia II. Perang Konvoi yang terjadi di sepanjang Bogor-Sukabumi, dan salah satu fragmen pertempuran paling heroiknya, pertempuran Bojongkokosan, merupakan puncak dari keseriusan para ulama Sukabumi mendukung kemerdekaan dan berdirinya Republik. 

Peran Penting KH Ahmad Sanusi

Sebenarnya, peran penting KH Ahmad Sanusi berangkat jauh sebelum peristiwa Perang Konvoi, tepatnya di masa kolonial Hindia Belanda. Pemerintah Kolonial menjadikan wilayah Sukabumi sebagai daerah perkebunan. Dampaknya masyarakat di daerah Sukabumi terbagi ke dalam dua kelompok sosial, yaitu masyarakat yang hidup di daerah perkebunan dengan struktur birokrasi perkebunan dan masyarakat di luar daerah perkebunan.

Lebih lanjut di luar wilayah onderneming (manajemen) perkebunan, terdapat kelompok sosial yang kepemimpinannya dipegang oleh tokoh agama, yaitu kyai atau ajengan. Selain sebagai tokoh agama, kyai atau ajengan juga merupakan tokoh politik dan pemimpin kharismatik yang senantiasa memberikan perlindungan kepada masyarakat.

Dalam konteks itulah KH. Ahmad Sanusi muncul menjadi salah satu tokoh ulama paling dihormati di Sukabumi. Masyarakat Sukabumi menjadi beliau sebagai simbol gerakan umat Islam dalam menentang kolonialisme. KH Ahmad Sanusi memimpin pesantren Gunung Puyuh dan oleh karenanya dikenal juga dengan panggilan Ajengan Gunung Puyuh.

Kedekatan KH Ahmad Sanusi dan KH Muhammad Hasan Basri

KH Ahmad Sanusi menjadikan pesantrennya sebagai area perlawanan diam-diam dengan mengajarkan semangat jihad kepada para santri. Apa yang dilakukan KH Ahmad Sanusi juga dilakukan oleh KH Hasan Basri di pesantren Al Hasaniyah yang didirikan tahun 1870 di Babakan, Kecamatan Cicurug. Rupanya kedua ulama kharismatik tersebut mempunyai kedekatan terutama dalam memperjuangkan akidah Islam dan melawan penjajahan.

Tercatat dalam sejarah beberapa peristiwa yang menggambarkan kedekatan kedua ulama. Dalam bukunya berjudul K.H. Ahmad Sanusi: Berjuang dari Pesantren Hingga Parlemen, Sulasman menuliskan “…pada peristiwa Sarekat Islam Afdeling B, KH Ahmad Sanusi bersama dengan KH Muhammad Hasan Basri dari pondok pesantren Babakan, Cicurug ditangkap oleh pemerintah kolonial.”

Peristiwa “Sarekat Islam (SI) Afdeling B” merujuk pada peristiwa penolakan KH Ahmad Sanusi dan KH Muhammad Hasan Basri perihal pengelolaan zakat fitrah oleh pemerintah kolonial. Dari data ini menunjukkan kedua ulama aktif di SI dan mempunyai visi yang sama perihal perjuangan akidah.

Kedekatan lainnya antara kedua ulama adalah ketika pada tahun 1931, KH Ahmad Sanusi ditangkap Belanda dan dibuang ke Tanah Tinggi, Batavia. Menurut Irman Firmansyah, aktivis sejarawan Sukabumi, KH Ahmad Sanusi mengalihkan tampuk pimpinan SI kepada KH Muhammad Hasan Basri. Dalam bukunya berjudul Sukabumi The Untold Story, Irman juga menampilkan bukti sejarah bahwa di tahun yang sama, 1931, saat KH Ahmad Sanusi dibuang ke Tanah Tinggi, para ulama pengikut beliau berkumpul di Babakan dan mengadakan rapat yang dipimpin KH Muhammad Hasan Basri yang menghasilkan berdirinya organisasi “Al-Ittihadiyatul Islamiyah” (AII).

Salah satu kegiatan AII di bidang ekonomi adalah mendatangkan barang-barang murah dari Jepang untuk mengisi koperasi-koperasi yang dikelola AII. Setelah oraganisasi AII diganti dengan nama baru Persatuan Ummat Islam Indonesia (PUII) pada tahun 1943.

Secara pribadi, KH M. Hasan Basri sendiri dikenal karismatik dan disegani kawan maupun lawan. Beliau dijuluki Belanda sebagai “Bintang Sembilan” setelah dalam sebuah perdebatan tentang pendapatnya yang menyatakan bahwa di setiap keberadaan air maka akan ada ikan. Seorang pejabat Belanda lalu menantangnya utuk menunjukan ikan di dalam buah kelapa. Uniknya saat buah kelapa dibuka ternyata ada ikan kecil (Sunda: beunteur).

Jejak Ulama dan Santri dalam Pertempuran Bojongkokosan

Menurut Komandan Resimen TKR Sukabumi, Letkol Eddie Soekardi, jika Bandung sudah dikuasai Sekutu, maka Sukabumi akan dikuasai pula. Hal ini, menjadi alasan bagi masyarakat Sukabumi untuk tidak berdiam diri membiarkan konvoi Sekutu untuk melewati kota itu. Oleh karena itu, untuk menghambat perjalanan konvoi Sekutu dari Jakarta menuju Bandung, para pejuang Sukabumi yang tediri dari tentara, rakyat, dan badan-badan perjuangan, melakukan penghadangan disepanjang jalan yang akan dilalui oleh konvoi Sekutu. Peristiwa itu dikenal dengan Perang Konvoi dan salah satu pertempuran yang paling heroik terjadi di Bojongkokosan (Parungkuda).

Titik penyerangan para pejuang Sukabumi oleh komandan Resimen disesuaikan dengan dislokasi pasukan. Dalam taktik itu menurut komandan resimen yang pertama akan menghadapi Sekutu, adalah penyerang yang berdislokasi di pos penyerangan Bojongkokosan. Konsolidasi dengan badan-badan perjuangan Hisbullah, Fisabilillah dan lain-lainnya terus dilakukan.

Komando berada di bawah Komandan Resimen III TKR Sukabumi Letnan Kolonel Eddie Soekardi dan para pemimpin badan perjuangan seperti Mr. Syamsudin pimpinan Hisbullah yang sekaligus merangkap Walikota Praja Sukabumi. Ada juga Barisan Islam Indonesia pimpinan KH. Ahmad Sanusi dan Pimpinan Pesantren Babakan Cicurug KHR. M. Hasan Basri dan pesantren-pesantren lainnya seperti pesantren yang berada di sekitar lokasi pertempuran Bojongkokosan di antaranya pesantren pimpinan KH. Jaswadi, Pesantren Pimpinan KH. Ahyar Parungkuda, Pesantren Pimpinan KH. Akbar, KH. Syafei Pangkalan, KH. Badri Cisaat, KH. Syadzili Caringin.

Para Kyai dengan kharismanya telah mendorong para santrinya dan masyarakat dari daerah di sekitar Bojongkokosan seperti Parungkuda, Kembang Kuning, Cicurug, Depok, Tapos, Bojong, Cipanengah, Nangela, Pasirmuncang, Pasir Doton serta daerah lainnya untuk maju ke garis depan medan pertempuran.

Sebelum maju ke medan perang, mereka dimandikan oleh Kyai di kolam yang airnya telah diberikan do’a-do’a. begitu pula dengan senjata-senjata lainnya mereka mandikan dengan air do’a. Dengan diringi gema do’a para santri bersama masyarakat berjalan untuk menuju ke medan perang. Di medan pertempuran mereka bergabung dengan kekuatan lainnya dengan tetap dipimpin oleh Kyai. Para Kyai tersebut bahkan tak hanya memimpin perlawanan, tapi juga aktif bergerilya menyusun strategi, bahkan perang fisik secara langsung dengan pasukan musuh.

Para Kyai dan Santri sadar bahwa membela tanah air dari penindasan adalah bagian dari perjuangan Islam, yang nilai maslahatnya akan dirasakan oleh jutaan orang. Terlebih saat Resolusi Jihad digelorakan oleh Hadratus Syekh KH. M. Hasyim Asy’ari pada tanggal 22 Oktober 1945, bersama para ulama dan kaum santri seantero Jawa-Madura, yang mendorong terjadinya perang besar di Surabaya pada tanggal 10 November 1945 dan perang Bojongkokosan 9-12 Desember 1945 sampai akhirnya terjadi peristiwa Bandung Lautan Api. Semua itu dilakukan demi membela kedaulatan Negara dari ancaman pasukan gabungan Inggris dan Belanda.

Dalam catatan sejarah yang lain, dikatakan bahwa diantara tokoh penting yang turut mensukseskan pertempuran di Surabaya dan Bojongkokosan adalah al-maghfurllah Kyai Amin Sepuh Babakan Ciwaringin, Kyai Abas Buntet, Kyai Hasan Basri Babakan Cicurug dan Kyai Ahmad Sanusi Gunung Puyuh, yang oleh Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari disebut sebagai “Singa dari Jawa Barat”.

Metode Kajian

Sebagai sebuah ilmu, sejarah memiliki metode penelitian agar dapat dipertanggunjawabkan dan diukur kebenarannya. Dalam buku Metodologi Sejarah (2007) karya Helius Sjamsudin, metode merupakan suatu prosedur, proses, atau teknik yang sistematis dalam penyidikan suatu disiplin ilmu tertentu untuk mendapatkan obyek (bahan-bahan) yang diteliti.

Secara umum, metode penelitian sejarah dilakukan dengan tujuan menambah wawasan tentang apa yang telah terjadi di masa lalu. Harapannya agar kita dapat belajar dari kegagalan maupun kesuksesan di masa lalu, membuat prediksi masa sekarang dan masa yang akan datang, serta menguji hipotesis tentang hubungan sosial dan tren masa lampau dan saat ini.

Seperti namanya, sumber ini berisi keterangan tentang peristiwa sejarah dalam bentuk tulisan. Sumber tulisan berasal dari catatan-catatan mengenai suatu kejadian di masa lampau yang sampai saat ini masih dapat ditemukan. Beberapa contoh sumber tulisan dalam penelitian sejarah yaitu dokumen, prasasti, piagam, naskah, surat kabar, dan laporan.

Penutup

Hingga pengakuan kedaulatan Republik Indonesia 27 Desember 1949, para ulama dan santri terus aktif melakukan pertempuran yang menganggu pasukan Belanda di Sukabumi yang dilakukan oleh KH Dadun Abdul Qohar, KH Mustafa Bisri Cantayan dan Habib Syekh Salim Al Attas Tipar.

Masih banyak ulama, ustad maupun santri lainnya yang mendakwahkan Islam dan turut berjuang mempertahankan negeri ini dengan darahnya. Mereka berhasil menggelorakan semangat belajar dan juga semangat jihad melawan penjajahan.

Setidaknya sebagian kisah yang disampaikan memudahkan kita untuk lebih memahami jejak perjuangan umat Islam di Sukabumi ini. Selain itu bisa menjadi pelajaran bagi generasi sekarang untuk mempertahankan agama dan tetap menjaga serta mencintai negeri kita ini.

Seperti yang disampaikan Allah SWT melalui Surat Yusuf 111, “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang berakal…”.

Daftar Rujukan

[1] A. Saifuddin, Haji Ahmad Sanusi: Ulama dan Pejuang, Al-Qalam, No 53/X/1995

[2] Irman Firmansyah, Sukabumi The Untodl Story (SUkabumiL Sukaboemi Heritages, 2012)

[3] Munandi Saleh, K.H. Ahmad Sanusi: Pemikiran dan Perjuangannya di Pergolakan Nasional (Tangerang: Jelajah Nusa, 2014)

[4] Sulasman, K.H. Ahmad Sanusi: Berjuang dari Pesantren Hingga Parlemen (Bandung: PW PUI Jawa Barat, 2007)

[5] Sulasman, Sukabumi Masa Revolusi 1945-1946, (Disertasi, Depok: Universitas Indonesia, 2007)

Baca Selengkapnya...

8.15.2021

KEMERDEKAAN


Kemerdekaan
berasal dari kata merdeka yang artinya bebas atau terbebas dari belenggu. Dalam bahasa Arab disebut hurriyah atau istiqlal. Kata Istiqlal menjadi begitu populer di Indonesia seteleh Presiden Soekarno dengan usulan Menteri Agama KH. Wahid Hasyim menggunakannya untuk nama Masjid Nasional yang sengaja dibangun sebagai monumen kemerdekaan Indonesia, Masjid Istiqlal, Masjid Kemerdekaan. Dalam Islam, nilai esensial kemerdekaan terkait erat dengan kemartabatan manusia yang ditentukan oleh dua hal : Iman dan amal sholeh, keduanya mempersyaratkan adanya kemerdekaan. Pertama Iman, tidak ada iman yang pernah hadir dalam keterpaksaan. Al-Qur’an menegaskan hal itu, antara lain

 وَلَوْ شَاۤءَ رَبُّكَ لَاٰمَنَ مَنْ فِى الْاَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيْعًاۗ اَفَاَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتّٰى يَكُوْنُوْا مُؤْمِنِيْنَ 

dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ?

 لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِۗ قَدْ تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيّ 

tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. 

Kedua Amal, baik berupa ucapan atau perbuatan. Amal bisa bernilai baik atau buruk jika muncul dari kemerdekaan memilih (ghoir mukroh) yang ditegaskan dalam niat. Amal yang lahir dari keterpaksaan tidak bernilai apa-apa. Rasululloh SAW, menegaskan : Sesungguhnya setiap amal tergantung dari niat, dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Prinsip kemerdekaan juga sejalan dengan konsep fiqih bahwa kemerdekaan merupakan syarat taklif (yaitu memikul perintah/larangan). Seperti diketahui, inti pesan Islam baik dalam Al-qur’an atau Hadits adalah taklif untuk berbuat kebaikan dan menjauhi keburukan, berbuat yang terpuji dan membuang yang tercela. Maka secara implisit, Islam menghendaki setiap manusia dalam keadaan merdeka untuk memilih, bukan sebagai mukroh, terbelenggu, berada dalam ancaman atau tekanan pihak lain. Kemerdekaan adalah salah satu syarat mutlak bagi keberadaan manusia sebagai Al-Mukallaf (pemikul perintah dan larangan moral dari Allah SWT). Tanpa mandat ini (sekaligus dengan kemerdekaannya), maka manusia hanya setara dengan binatang. Maka salah satu amal sholeh dengan keutamaan tinggi adalah memberikan kemerdekaan manusia yang terjajah, tertindas dalam belenggu oleh kemauan pihak lain :

 وَمَآ اَدْرٰىكَ مَا الْعَقَبَةُ, فَكُّ رَقَبَةٍۙ, اَوْ اِطْعَامٌ فِيْ يَوْمٍ ذِيْ مَسْغَبَةٍۙ, يَّتِيْمًا ذَا مَقْرَبَةٍۙ, اَوْ مِسْكِيْنًا ذَا مَتْرَبَةٍۗ 

tahukah kamu Apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, atau memberi Makan pada hari kelaparan, (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau kepada orang miskin yang sangat fakir. 

Sementara itu, manusia bukanlah semata-mata makhluk individual melainkan juga makhluk sosial. Artinya, kemerdekaan manusia individu tanpa kemerdekaan kolektifnya sebagai komunitas atau bangsa akan sangat rapuh dan bisa kehilangan signifikansinya. Kemerdekaan suatu bangsa mutlak bagi kemerdekaan manusia individu-individunya. Semoga kita semua menjadi orang-orang merdeka yang senantiasa men-tauhidkankan Allah SWT, dengan semangat kemerdekaan, marilah kita mensyukuri kemerdekaan ini dengan mempertahankan keutuhan jati diri dan bangsa ini dengan nilai-nilai akhlaq yang luhur dan nilai-nilai Islam yang tinggi, hanya dengan itu, kita bisa meraih kejayaan di masa yang akan datang. Mudah-mudahan Allah SWT berkenan meneruskan sejarah bangsa ini sehingga bangsa ini akan menjadi sebuah “Baldatun Thayyibatun Warabbun Ghafuur“ sebuah negara dan bangsa yang meraih maghfirah Allah SWT dan dalam waktu yang bersamaan juga meraih kesejahteraan dan kedamaian selama-lamanya. Amin

Baca Selengkapnya...

8.03.2021

PROKES HATI DAN AKAL FIKIRAN


Keputusan Pemerintah dari PSBB sampai PPKM serta keputusan untuk mentaati Protokol Kesehatan 5M 1) Memakai Masker, 2) Mencuci Tangan, 3) Menjaga Jarak, 4) Menjauhi Kerumunan dan 5) Membatasi Mobilitas dan Interaksi, bahkan program vaksinasi terus dilaksanakan, menunjukkan masih menjadi warning dan perhatian kita bersama dalam rangka tetap menjaga dan memutus mata rantai penularan virus Corona. Bagi kita, ummat yang beriman, yang meyakini bahwa tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang, selayaknya meyakini bahwa kesehatan itu tidak hanya sehat jasmani saja, akan tetapi hati, jiwa serta akal pikiran pun harus terbebas dari nuktah, kotoran, dan penyakit yang akan menggerogoti kesehatan manusia. Untuk itu, sudah seharusnya, kita pun menerapkan Protokol Kesehatan hati, jiwa dan akal fikiran. Ada 3 indikator utama yang menjadikan hati yang bersih, kesucian jiwa dan akal fikiran, yaitu :

Pertama : Berwudlu, Nabi bersabda :

 إِنَّ أُمَّتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ هِيَ الْغُرُّ الْمُحَجَّلُونَ مِنْ أَثَرِ الْوُضُوءِ مَنْ اسْتَطَاعَ أَنْ يُطِيلَ غُرَّتَهُ فَلْيَفْعَلْ 

Sesungguhnya umatku pada hari Kiamat adalah al-ghurr al-muhajjalun karena bekasnya wudhu. Siapa saja yang mampu memanjangkan ghurr-nya maka lakukanlah! (HR. Ahmad). Para ulama mendefinisikan al-ghurr al-muhajjalun adalah cahaya putih pada bagian kening, tangan dan kaki yang biasa dibasuh saat berwudlu. Menurut Ulama hadits, hikmah dari hadits tersebut, bahwa berwudlu, badan menjadi sehat terbebas dari penyakit, bersihnya akal fikiran serta mampu menaikkan derajat, dikarenakan ada pacaran sinar cahaya Al-ghurr Al-Muhajjalun. Untuk itu seorang mukmin agar selalu membiasakan berwudlu dalam segala aktifitas sehari-hari, akan tidur pun nabi menganjurkan agar berwudlu. Kebersihan anggota badan sudah sejak lama menjadi ajaran Islam, tidak sekedar mencuci tangan yang bersih, akan tetapi menggapai kesucian diri. 

Kedua, Mengunci Lisan

Penggunaan masker sebagai alat penutup mulut menurut kedokteran menyebutkan bahwa fungsinya untuk memblokade partikel sarat virus yang dipancarkan dari mulut, terlebih ketika dalam situasi pandemi saat ini. Akan tetapi ada lagi partikel yang lebih berbahaya mengancam keselamatan kehidupan manusia, yaitu partikel lisan yang dipancarkan oleh mulut pula, Nabi Muhammad SAW telah memperingatkan kita tentang bahayanya lisan, dalam hadits dikatakan 

 إذا أصبح ابنُ آدمَ ؛ فإنَّ الأعضاءَ كلَّها تكفِّر اللسانَ، فتقول : اتقِ اللهَ فينا ؛ فإنما نحن بك ؛ فإن استقمت استقمْنا وإنِ اعوججتَ اعوججنا 

Jika manusia berada di waktu pagi, maka semua anggota tubuhya selalu memperingatkan lisan. Mereka berkata, “ Wahai lisan, bertakwalah kepada Allah dalam urusan kami karena sesungguhnya keselamatan kami tergantung pada dirimu, Jika kamu bersikap lurus, maka kami pun akan lurus. Namun jika engkau menyimpang, maka kamipun akan menyimpang.” Dalam hadist lain disebutkan

 سلامة الإنسان في حفظ اللسان

Keselamatan, kesejahteraan, serta kedamaian manusia tergantung sampai sejauh mana menjaga dan mengunci lisan kita dari segala ucapan, kata dan kalimat yang kita rangkai. Lisan sangatlah ringan berbuat, ia bisa begitu mudah untuk digerakkan namun begitu sulit untuk dikendalikan. bahaya lisan sangatlah besar dibanding anggota tubuh lainnya. Perbuatan dosa yang merajalela, kadang terjadi tanpa disadari, disebabkan perbuatan lisan. Seperti ghibah, hasud, dengki, namimah, terlebih di zaman digitalisasi saat ini, media elektronik ataupun media sosial kerap kali mempublish ujaran kebencian, cacian, fitnah, berita bohong ataupun semacamnya yang beredar di dunia maya. Begitu mudahnya hal-hal demikian keluar dari seseorang, seakan kita lupa bahwa setiap apa yang kita perbuat pasti dicatat oleh malaikat dan akan membahayakan manusia seluruhnya. Maka, kita tidak cukup sekedar masker penutup mulut, lisan pun harus kita tutup, kita kunci dengan masker keimanan dan ketaqwaan. 

Ketiga, Menjaga Jarak Amaliah. 

Amaliah yang berarti perbuatan merupakan perwujudan dari suatu tindakan dan perilaku. Menjaga jarak yang pertama; Menjaga jarak dari perbuatan apa? Yaitu, menjaga jarak dari tindakan yang tidak baik dan tidak benar. Menjaga jarak dari perbuatan fakhsya` dan munkar. Menjaga jarak dari pribadi yang jahat dan menyengsarakan orang lain. Yang kedua menjaga jarak dari perbuatan siapa? Kita sering dengar syair pujian : Tombo Ati yang kelima adalah “wong kang sholeh kumpulono”; (berkumpullah bersama orang sholeh), ini membuktikan bahwa islam secara konsisten mengajarkan tentang siapa yang perlu dan layak dijadikan teman, sahabat, sampai pada memilih Guru, Ustadz atau Kyai. Yang ketiga, menjaga jarak dari tempat apa? Setiap aktifitas, kita dituntut untuk belajar, bekerja, dan beribadah ikhlas, Mobilitas yang kita tempuh selama ini, apakah hanya menuju tempat kerja, berwisata, atau pergi belanja, seperti apa ketika kita menuju ke masjid, sholat berjamaah, bermunajat, serta mengekspresikan Harapan dan Takut kepada Allah, dan mencurahkan Kecintaan dan Kerinduan kepada Allah SWT., seberapa lama, waktu kita dalam ruang majlis ilmu, menimba ilmu, berjumpa dengan seorang ulama sebagai pewaris Nabi. Ataukah mobilitasnya menuju tempat kemaksiatan, kemunkaran, dan kemunafikan. Untuk itulah segala aktifitas perbuatan, selayaknya kita ukur, kita takar, kita timbang, sehingga perbuatan itu tidak menyimpang dari ajaran Islam, sesuai dengan batas-batas syari’at dan tentunya pula perbuatan tersebut disertai dengan kualitas ketulusan, kualitas kekhusyuan, juga kualitas kesucian.

Dengan demikian, saatnya kita melakukan protokol kesehatan yang paripurna, kita tunaikan prokes 5M, sekaligus tunaikan pula prokes Membiasakan Berwudlu, Mengunci Lisan, dan Menjaga Jarak Amaliyah. Insya Allah, setelah itu akan sampai kepada empat keadaan, yaitu : pertama, Qolbun Salim; hati yang bersih dari penyakit hati, kedua, Aqlun Salim; fikiran yang sempurna, ketiga Jismun salim; jasad, tubuh yang sehat, keempat, Fahmun Salim, menghasilkan ilmu yang manfaat dan membangun peradaban manusia. Dengan begitu, dalam kehidupan ini, kita menjadi bersih, tubuh kita sehat dan kuat, menjalani akhlak mulia, dan menggapai ridha Allah SWT.

Baca Selengkapnya...

5.24.2014

Gus Dur dan Masa Depan NKRI



Di akhir tahun 1998 Gus Dur rawuh (datang) di Wonoi orang Wonosobo. Saat itu sedang ramainya era reformasi, beberapa bulan setelah Pak Harto jatuh. Dan ini terjadi beberapa bulan sebelum Gus Dur menjadi orang nomer satu di Negeri ini. Beliau masih menjabat sebagai Ketua PBNU.

Bertempat di Gedung PCNU Wonosobo, Gus Dur mengadakan pertemuan dengan pengurus NU dari Wonosobo, Banjarnegara, Pubalingga, Kebumen, Temanggung dan Magelang.

Tentu saja semua kiai ingin tahu pendapat Gus Dur tentang situasi politik terbaru. Penulis hadir di situ walaupun bukan kiai, dan duduk persis di depan Gus Dur. Penulis lah yang menuntun Gus Dur menaiki Lantai 2 PCNU Wonosobo.

“Pripun Gus situasi politik terbaru?” tanya seorang kiai.

“Orde Baru tumbang, tapi Negeri ini sakit keras.” kata Gus Dur.

“Kok bisa Gus?” 

“Ya bisa, wong yang menumbangkan Orde Baru pakainya emosi dan ambisi tanpa perencanaan yang jelas. Setelah tumbang mereka bingung mau apa, sehingga arah reformasi gak genah. Bahkan Negeri ini di ambang kehancuran, di ambang perang saudara. Arah politik Negeri ini sedang menggiring Negeri ini ke pinggir jurang kehancuran dan separatisme. Lihat saja, baru berapa bulan Orde Reformasi berjalan, kita sudah kehilangan propinsi ke-27 kita, yaitu Timor Timur.” kata Gus Dur.

Kiai tersebut sebagaimana biasa, kalau belum mulai bicara. Pak Habibi, kita semua akan merasa kasihan dengan sikap Gus Dur yang datar dan seperti capek sekali dan seperti aras-arasen bicara. Tapi kalau sudah mulai, luar biasa memikat dan ruangan jadi sepi kayak kuburan, tak ada bunyi apapun selain pangendikan Gus Dur.

Seorang kiai penasaran dengan calon presiden devinitif pengganti Pak Habibi yang hanya menjabat sementara sampai sidang MPR. Ia bertanya: “Gus, terus siapa yang paling pas jadi Presiden nanti Gus?” 

“Ya saya, hehehe…” kata Gus Dur datar.

Semua orang kaget dan menyangka Gus Dur guyon seperti biasanya yang memang suka guyon.

“Yang bisa jadi presiden di masa seperti ini ya hanya saya kalau Indonesia gak pingin hancur. Dan saya sudah dikabari kalau-kalau saya mau jadi presidan walau sebentar hehehe...” kata Gus Dur mantab.

“Siapa yang ngabari dan yang nyuruh Gus?” tanya seorang kiai.

“Gak usah tahu. Orang NU tugasnya yakin saja bahwa nanti presidennya pasti dari NU,” kata Gus Dur masih datar seperti guyon.

Orang yang hadir di ruangan itu bingung antara yakin dan tidak yakin mengingat kondisi fisik Gus Dur yang demikian. Ditambah lagi masih ada stok orang yang secara fisik lebih sehat dan berambisi jadi presiden, yaitu Amin Rais dan Megawati. Tapi tidak ada yang berani mengejar pertanyaan tentang presiden RI.

Kemudian Gus Dur menyambung: “Indonesia dalam masa menuju kehancuran. Separatisme sangat membahayakan. Bukan separatismenya yang membahayakan, tapi yang memback up di belakangnya. Negara-negara Barat ingin Indonesia hancur menjadi Indonesia Serikat, maka mereka melatih para pemberontak, membiayai untuk kemudian meminta merdeka seperti Timor Timur yang dimotori Australia.”

Sejenak sang Kiai tertegun. Dan sambil membenarkan letak kacamatanya ia melanjutkan: “Tidak ada orang kita yang sadar bahaya ini. Mereka hanya pada ingin menguasai Negeri ini saja tanpa perduli apakah Negeri ini cerai-berai atau tidak. Maka saya harus jadi presiden, agar bisa memutus mata rantai konspirasi pecah-belah Indonesia. Saya tahu betul mata rantai konspirasi itu. RMS dibantu berapa Negara, Irian Barat siapa yang back up, GAM siapa yang ngojok-ojoki, dan saya dengar beberapa propinsi sudah siap mengajukan memorandum. Ini sangat berbahaya.”

Kemudiaan ia menarik nafas panjang dan melanjutkan: “Saya mau jadi presiden. Tetapi peran saya bukan sebagai pemadam api. Saya akan jadi pencegah kebakaran dan bukan pemadam kebakaran. Kalau saya jadi pemadam setelah api membakar Negeri ini, maka pasti sudah banyak korban. Akan makin sulit. Tapi kalau jadi pencegah kebakaran, hampir pasti gak akan ada orang yang menghargainya. Maka, mungkin kalaupun jadi presiden saya gak akan lama, karena mereka akan salah memahami langakah saya.”

Seakan mengerti raut wajah bingung para kiai yang menyimak, Gus Dur pun kembali selorohkan pemikirannya. “Jelasnya begini, tak kasih gambaran,” kata Gus Dur menegaskan setelah melihat semua hadirin tidak mudeng dan agak bingung dengan tamsil Gus Dur.

“Begini, suara langit mengatakan bahwa sebuah rumah akan terbakar. Ada dua pilihan, kalau mau jadi pahlawan maka biarkan rumah ini terbakar dulu lalu datang membawa pemadam. Maka semua orang akan menganggap kita pahlawan. Tapi sayang sudah terlanjur gosong dan mungkin banyak yang mati, juga rumahnya sudah jadi jelek. Kita jadi pahlawan pemyelamat yang dielu-elukan.”

Kemudian lanjutnya: “Kedua, preventif. Suara langit sama, rumah itu mau terbakar. Penyebabnya tentu saja api. Ndilalah jam sekian akan ada orang naruh jerigen bensin di sebuah tempat. Ndilalah angin membawa sampah dan ranggas ke tempat itu. Ndilallah pada jam tertentu akan ada orang lewat situ. Ndilalah dia rokoknya habis pas dekat rumah itu. Ndilalalah dia tangan kanannya yang lega. Terus membuang puntung rokok ke arah kanan dimana ada tumpukan sampah kering.”

Lalu ia sedikit memajukan duduknya, sambil menukas: “Lalu ceritanya kalau dirangkai jadi begini; ada orang lewat dekat rumah, lalu membuang puntung rokok, puntung rokok kena angin sehingga menyalakan sampah kering, api di sampah kering membesar lalu menyambar jerigen bensin yang baru tadi ditaruh di situ dan terbakarlah rumah itu.”

“Suara langit ini hampir bisa dibilang pasti, tapi semua ada sebab-musabab. Kalau sebab di cegah maka musabab tidak akan terjadi. Kalau seseorang melihat rumah terbakar lalu ambil ember dan air lalu disiram sehingga tidak meluas maka dia akan jadi pahlawan. Tapi kalau seorang yang waskito, yang tahu akan sebab-musabab, dia akan menghadang orang yang mau menaruh jerigen bensin, atau menghadang orang yang merokok agar tidak lewat situ, atau gak buang puntung rokok di situ sehingga sababun kebakaran tidak terjadi.”

Sejenak semua jamaah mangguk-mangguk. Kemudian Gus Dur melanjutkan: “Tapi nanti yang terjadi adalah, orang yang membawa jerigen akan marah ketika kita cegah dia naruh jerigen bensin di situ: “Apa urusan kamu, ini rumahku, bebas dong aku naruh di mana?” Pasti itu yang akan dikatakan orang itu.”

“Lalu misal ia memilih menghadang orang yang mau buang puntung rokok agar gak usah lewat situ, Kita bilang: “Mas, tolong jangan lewat sini dan jangan merokok. Karena nanti Panjenengan akan menjadi penyebab kebakaran rumah itu.” Apa kata dia: “Dasar orang gila, apa hubungannya aku merokok dengan rumah terbakar? Lagian mana rumah terbakar?! Ada-ada saja orang gila ini. Minggir! saya mau lewat.”

Kini makin jelas arah pembicaraannya dan semua yang hadir makin khusyuk menyimak. “Nah, ini peran yang harus diambil NU saat ini. Suara langit sudah jelas, Negeri ini atau rumah ini akan terbakar dan harus dicegah penyebabnya. Tapi resikonya kita tidak akan popular, tapi rumah itu selamat. Tak ada selain NU yang berpikir ke sana. Mereka lebih memilih: “Biar saja rumah terbakar asal aku jadi penguasanya, biar rumah besar itu tinggal sedikit asal nanti aku jadi pahlawan maka masyarakat akan memilihku jadi presiden.”

“Poro Kiai ingkang kinormatan.” kata Gus Dur kemudian. “Kita yang akan jadi presiden, itu kata suara langit. Kita gak usah mikir bagaimana caranya. Percaya saja, titik. Dan tugas kita adalah mencegah orang buang puntung rokok dan mencegah orang yang kan menaruh bensin. Padahal itu banyak sekali dan ada di banyak negara. Dan pekerjaan itu secara dzahir sangat tidak popular, seperti ndingini kerso. Tapi harus kita ambil. Waktu yang singkat dalam masa itu nanti, kita gak akan ngurusi dalam Negeri.”

“Kita harus memutus mata rantai pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka di Swiss, kita harus temui Hasan Tiro. Tak cukup Hasan Tiro, presiden dan pimpinan-pimpinan negara yang simpati padanya harus didekati. Butuh waktu lama,” lanjut Gus Dur.

“Belum lagi separatis RMS (Republik Maluku Sarani) yang bermarkas di Belanda, harus ada loby ke negara itu agar tak mendukung RMS. Juga negara lain yang punya kepentingan di Maluku,” kata Gus Dur kemudian.

“Juga separatis Irian Barat Papua Merdeka, yang saya tahu binaan Amerika. Saya tahu anggota senat yang jadi penyokong Papua Merdeka, mereka membiayai gerakan separatis itu. Asal tahu saja, yang menyerang warga Amerika dan Australia di sana adalah desain mereka sendiri.”

Kemudian Gus Dur menarik nafas berat, sebelum melanjutkan perkataan berikutnya. “Ini yang paling sulit, karena pusatnya di Israel. Maka, selain Amerika saya harus masuk Israel juga. Padahal waktu saya sangat singkat. Jadi mohon para kiai dan santri banyak istighatsah nanti agar tugas kita ini bisa tercapai. Jangan tangisi apapun yang terjadi nanti, karena kita memilih jadi pencegah yang tidak populer. Yang dalam Negeri akan diantemi sana-sini.”

Sekonyong beliau berdiri, lalu menegaskan perkataan terakhirnya: “NKRI bagi NU adalah Harga Mati!”

“Saya harus pamit karena saya ditunggu pertemuan dengan para pendeta di Jakarta, untuk membicarakan masa depan negara ini. Wasalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh...” tutup Gus Dur.

Tanpa memperpanjang dialog, Gus Dur langsung pamit. Kita bubar dengan benak yang campur-aduk, antara percaya dan tidak percaya dengan visi Gus Dur. Antara realitas dan idealitas, bahwa Gus Dur dengan sangat tegas di hadapan banyak kiai bahwa dialah yang akan jadi presiden. Terngiang-ngiang di telinga kami dengan seribu tanda tanya.

Menghitung peta politik, rasanya gak mungkin. Yang terkuat saat itu adalah PDIP yang punya calon mencorong Megawati putri presiden pertama RI yang menemukan momentnya. Kedua, masih ada Partai Golkar yang juga Akbar Tanjung siap jadi presiden. Di kelompok Islam modern ada Amien Rais yang juga layak jadi presiden, dan dia dianggap sebagian orang sebagai pelopor Reformasi.

Maka kami hanya berpikir bahwa, rasional gak rasional, percoyo gak percoyo ya percoyo aja apa yang disampaikan Gus Dur tadi. Juga tentang tamsil rumah tebakar tadi. Sebagian besar hadirin agak bingung walau mantuk-mantuk karena gak melihat korelasinya NU dengan jaringan luar negeri.

Sekitar 3 bulan kemudian, Subhanallah… safari ke luar ternyata Gus Dur benar-benar jadi Presiden. Dan Gus Dur juga benar-benar bersafari ke luar negeri seakan maniak plesiran. Semua negara yang disebutkan di PCNU Wonosobo itu benar-benar dikunjungi. Dan reaksi dalam negeri juga persis dugaan Gus Dur saat itu bahwa Gus Dur dianggap foya-foya, menghamburkan duit negara untuk plesiran. Yang dalam jangka waktu beberapa bulan sampai 170 kali lawatan. Luar biasa dengan fisik yang (maaf) begitu, demi untuk sebuah keutuhan NKRI.

Pernah suatu ketika Gus Dur lawatan ke Paris (kalau kami tahu maksudnya kenapa ke Paris). Dalam negeri, para pengamat politik dan politikus mengatakan kalau Gus Dur memakai aji mumpung. Mumpung jadi presiden pelesiran menikmati tempat-tempat indah dunia dengan fasilitas negara.

Apa jawab Gus Dur: “Biar saja, wong namanya wong ora mudeng atau ora seneng. Bagaimana bisa dibilang plesiran wong di Paris dan di Jakarta sama saja, gelap gak lihat apa-apa, koq dibilang plesiran. Biar saja, gitu aja koq repot!”

Masih sangat teringat bahwa pengamat politik yang paling miring mengomentrai lawatan Gus Dur sampai masa Gus Dur lengser adalah Alfian Andi Malarangeng, Menpora yang sekarang kena kasus. Tentu warga NU gak akan lupa sakit hatinya mendengar ulasan dia. Sekarang terimalah balasan dari Tuhan.

Satu-satunya pengamat politik yang fair melihat sikap Gus Dur, ini sekaligus sebagai apresiasi kami warga NU, adalah Hermawan Sulistyo, atau sering dipanggil Mas Kiki. terimakasih Mas Kiki.

Kembali ke topik. Ternyata orang yang paling mengenal sepak terjang Gus Dur adalah justru dari luar Islam sendiri. Kristen, Tionghoa, Hindu, Budha dll. mereka tahu apa yang akan dilakukan Gus Dur untuk NKRI ini. Negeri ini tetap utuh minus Timor Timur karena jasa Gus Dur. Beliau tanpa memikirkan kesehatan diri, tanpa memikirkan popularitas, berkejaran dengan sang waktu untuk mencegah kebakaran rumah besar Indonesia.

Dengan resiko dimusuhi dalam negeri, dihujat oleh separatis Islam dan golongan Islam lainnya, Gus Dur tidak perduli apapun demi NKRI tetap utuh. Diturunkan dari kursi presiden juga gak masalah bagi beliau walau dengan tuduhan yang dibuat-buat. Silakan dikroscek data ini. Lihat kembali keadaan beberapa tahun silam era reformasi baru berjalan, beliau sama sekali gak butuh gelar “Pahlawan”. Karena bagi seluruh warga NU “Beliau adalah Pahlawan yang sesungguhnya.”

Sumber : 
Disadur dan diedit ulang dari tulisan Gus Theler Cuek 
 https://www.facebook.com/theler.cuek/posts/743645182347160
Baca Selengkapnya...
 

Kunjungan

Aktifitas

Uzy Ibni Muhammad Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template