Tampilkan postingan dengan label Goresan Hati. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Goresan Hati. Tampilkan semua postingan

5.24.2010

Menghargai Atau Dihargai

Selamat atas terpiihnya siswa the best of MAN Tambakberas 24 Mei 2010

Lebih penting mana, menghargai atau dihargai? Memberikan apresiasi atau diapresiasi? Pertanyaan tersebut kerap kali mampir dan menggugah egosentrisme semua orang, sehingga pertanyaan tersebut cukup mampu memberikan “PR” pada diri kita. Bahkan, pertanyaan ini terkadang tidak begitu diperhitungkan sama sekali oleh masing-masing kita, sehingga tiap tindakan yang kita lakukan menjadi nihil atas nilai pengakuan pada eksistensi “the others”.


Menghargai adalah upaya memahami keberhasilan orang lain yang didasarkan pada penilaian obyektif atas prestasi tersebut. Menghargai itu memerlukan kedewasaan pemikiran yang kemudian mengantarkan pelakunya pada sikap obyektif tanpa kepentingan subyektif-personal atas sebuah prestasi. Memahami keberhasilan orang lain menuntut pengetahuan kita akan konteks dimana keberhasilan tersebut muncul dan menunjukkan kualitasnya.

Kepicikan akan muncul di benak masing-masing diri kita ketika sebuah prestasi dilihat dan dipahami secara parsial, tidak memiliki latar belakang, proses, dan lebih picik lagi ketika keberhasilan dianggap sama pada tiap ruang dan waktu. Artinya, apapun bentuk prestasi yang ditorehkan seseorang, kita anggap tidak lebih baik dibanding prestasi-prestasi lain, atau bahkan tidak lebih bermutu dari prestasi yang telah kita klaim sebagai “milik” kita. Inilah yang disebut dengan cara pandang ahistoris.

Memahami sebuah prestasi orang lain, berarti juga berupaya untuk mengetahui posisi dan eksistensi orang yang akan kita pahami. Disinilah persoalan mendasar muncul dan kita lupakan. Sering kali kita menganggap bahwa memahami eksistensi orang lain itu berbanding terbalik dengan upaya memahami diri sendiri. Hal ini kemudian memunculkan logika biner dalam benak kita ketika melihat tiap fakta yang terjadi. Logika biner inilah yang kemudian mengantarkan kita pada upaya mengkomparasi keberhasilan tersebut dengan keberhasilan kita. Lalu yang terjadi adalah munculnya pola pikir ahistoris atas keberhasilan tersebut, sehingga kita tidak lagi obyektif mengulas tiap poin prestasi itu sendiri, namun lebih melihat pada apa kelemahan atasnya.

Sebenarnya, mengerti akan orang lain itu berbanding lurus dengan mengerti pada diri sendiri. Upaya mendengarkan, melihat, mengukur, dan mengkritisi diri sendiri itu berbanding lurus dengan mendengarkan, melihat, mengukur dan mengkritisi orang lain. Mana yang lebih mudah? Tentu jawaban pertanyaan ini menjadi sangat relatif.

Mungkin jawaban umum akan mengatakan bahwa mengkritik orang lain seharusnya lebih mudah dibanding mengkritik diri sendiri. Sama juga dengan menelanjangi kesalahan orang itu lebih mudah daripada mengakui kesalahan diri sendiri. Jika memang jawaban ini yang kita sepakati, maka mengapa kita juga sulit menghargai orang lain. Apakah kritikan, penilaian, penghargaan, dan pujian atas orang lain itu berbeda? Tidak, kesemuanya adalah wujud eksternalisasi diri atas segala sesuatu di luar diri itu sendiri.

Jika kita mudah menyalahkan, seharusnya kita juga mudah membenarkan. Jika ingin didengar, maka dengarkanlah. Jika ingin berkata, biarkanlah mereka juga berkata. Kita hanya perlu belajar obyektif atas sesuatu. Maka yang harus kita pahami adalah bahwa semakin serius upaya melihat keluar, berarti semakin serius pula kita melihat kedalam. Makin tajam kita melakukan eksternalisasi, maka makin tajam pula kita lakukan internalisasi.

Belajar obyektif dalam melihat diri sendiri dan orang lain inilah yang saya rasakan sangat berat ketika belajar dengan sahabat-sahabat saya di bulan April 2010. Mereka mungkin juga memikirkan hal sama, atau tidak terpikir sama sekali.

Yang terpenting selama bulan itu, saya dan beberapa sahabat lain berupaya untuk memberi tanpa harus meminta. Mendengar tanpa harus berbicara dulu. Mengkritisi diri sebelum mengkritik orang lain. “Membengkeli” diri tanpa “mengendarai” orang lain. Bekerja tanpa berharap akan upah. Belajar tanpa menunggu orang lain belajar. Syukur bila orang lain ikut belajar.


Sumber : http://chabib.sunan-ampel.ac.id/?p=258

Baca Selengkapnya...

5.19.2010

Membina Moral

Linda dan Richard Eyre (1993) dalam bukunya yang berjudul “Mengajarkan Nilai-Nilai Kepada Anak” tentang 12 macam nilai moral yang perlu ditanamkan kepada anak. Nilai-nilai adalah kejujuran, keberanian, cinta damai, percaya diri, disiplin diri, dan sikap tahu batas, kemurnian, kesetiaan/dapat dipercaya, respek/hormat, cinta/kasih sayang, tidak egois/kepekaan, baik hati, dan keadilan/belas kasihan.

Dari ke-12 nilai yang telah disebutkan, menurut Eyre setengah yang pertama disebut sebagai “nilai nurani” (values of being) karena nilai-nilai ini bermula dari berkembangnya kualitas atau sikap dalam diri kita yang menentukan perilaku dan cara kita memperlakukan orang lain, sedangkan setengah yang terakhir disebut dengan “nilai memberi” (values of giving) karena bermula ketika kita memberikan kepada orang lain dan selanjutnya akan berpengaruh terhadap jawaban siapakah kita.
Meski digolongkan keduanya saling bertemu, tumpang tindih, dan mewarnai satu sama lain. Nilai nurani diberikan sebanyak yang diterima. Bisa dipraktekkan “keluar”, tetapi bisa juga dikembangkan ke “dalam”.
Sementara itu, nilai-nilai memberi akan diterima sebanyak yang diberikan dan berkembang begitu diparkatekkan. Jadi, memberi dan menerima, berkembang dan membantu perkembangan anak, dengan cepat akan berpadu menjadi satu. Pada waktu kita mempraktekkan rasa sayang dan hormat kepada diri sendiri dan membangun nilai-nilai itu ke dalam diri kita, kita sekaligus menularkan disiplin atau kesabaran kepada anak kita melalui teladan.

Membangun Moral
Menurut Eyre, memberikan contoh adalah guru yang terbaik, hal-hal yang kita perbuat selalu berdampak lebih luas, jelas, dan berpengaruh daripada yang kita katakan. Jadi, apabila kita tidak ingin anak berdusta, kita harus memberikan contoh dengan menampilkan perilaku jujur. Agar anak tidak mem-bully teman sekolahnya.
Bermain peran dan berbagai permainan kata akan bermanfaat karena memungkinkan anak menempatkan diri dalam suatu situasi, melihat dampak dan hubungan sebab akibat dari berbagai pilihan tingkah laku. Menghafalkan peribahasa dan membahas suatu cerita moral akan berguna untuk menanamkan nilai moral.
Diskusi tentang konsep membuat anak dapat bicara tentang istilah moral sesuai dengan usia mereka, sementara orang tua membantu mengembangkan minat dan kemampuan anak untuk berbicara secara serius dengan orang deawas. Terdapat hubunagan erat antara perilaku moral anak dan banykanya waktu yang digunakan untuk berbicang dengan orang tua/guru. Apabila sering interaksi, nilai kita secara perlahan tapi pasti akan menular kepada anak.
Pengakuan atas perilaku positif dan pengabdian atas perilaku negatif terbukati lebih efektif dalam mengembangkan nilai moral. Orang tua/guru lebih sering memerhatikan perilaku negatif, sedangkan yang posotif terabaikan karena dianggap sudah semestinya dilakukan. Padahal, pemberian penghargaan dan ganjaran apabila digabung dengan pujian akan menjadi cara yang berdaya guna untuk mendukung perilaku yang bermoral. Anak juga perlu mendapat kesempatan untuk memperbaiki kesalahan.
Cara terbaik tetap dengan memberikan ganjaran/hadiah apabila anak berperilaku sesuai nilai moral. Meski anak memerlukan disiplin, hal ini akan menjadi masalah serius bagi anak yang lebih besar. Penggunaan secara berkelanjutan teknik-teknik disiplin yang efektif ketika anak masih kecil ternyata cenderung menyebabkan kebencian kepada anak yang sudah lebih besar. Artinya, pemberian disiplin juga harus disesuaikan dengan tingkat perkembangan seorang anak.
Cara yang efektif bagi semua orang untuk mengawasi tingkah lakunya sendiri adalah melalui pengembangan hati nurani. Ia harus termotivasi untuk bertindak sesuai dengan standar moral kelompok. Seseorang akan merasa bersalah apabila sadar bahwa tindakannya tidak memenuhi harapan sosial kelompoknya, sedangkan rasa malu timbul hanya jika ia sadar akan penilaian buruk kelompok terhadap tindakannya itu.
Baca Selengkapnya...

5.18.2010

Suara Ibu Senyaman Pelukan

Kehadiran Ibu memberikan kenyamanan meskipun dari jarak jauh. Penelitian baru dipublikasikan di jurnal Proceeding of the Royal Society B menunjukkan, mendengar suara singkat ibu melalui telpon di tempat kerja sama baiknya seperti menenangkan urat saraf anak-anak yang stres dengan cara meletakkan di pundak.

Efek tenang seperti itu karena lepasnya hormon oxytocin di dalam otak. “Hormon cinta” itu dikenal menghilangkan stres karena ada ikatan sosial, termasuk yang terjadi antara ibu dan anak. Leslie Seltzer, antropolog biologi dari universitas Wiconsin-Madison, mengatakan, dari penelitian baru jelas bahwa suara ibu memiliki efek yang sama seperti pelukan. Penelitian pada 61 anak perempuan berusia 7-12 tahun, yang diperhadapkan dengan tes pidato dan pemecahan soal-soal matematika secara mendadak, mengirimkan debar jantung dan kadar hormon cortisol, hormon yang berhubungan dengan stres. Ketika stres, sepertiga anak-anak nyaman dipeluk ibu mereka. Sisanya bertelepon dengan ibu. Anak-anak yang berinteraksi dengan ibu mereka secara langsung memiliki respon kadar hormon yang sama jika mereka berinteaksi lewat telpon.....

Terima kasih untuk cucuran keringatmu,
Disaat kau mengantarku ke dokter,
Disaat kau mencarikan baju untukku

Terima kasih untuk...
Tetap menyayangiku meskipun aku slalu mengecewakanmu
Tetap sabar dalam menghadapiku
Tetap bilang aku baik disaat aku tak patut
menerima pujianmu
Kepercayaanmu bahwa aku mandiri
Membantu memecahkan persoalan ku
Disaat beban masalahmu lebih berat dan lebih pelik
Kelembutan yang tersimpan dibalik keperkasaanmu
Slalu tawakal dalam menghadapi masalah
Tetap kuat, tegar dalam menjalani hidup ini
Kebebasan yang kau beri atas setiap pilihan dalam
hidupku

Dan yang paling istimewa adalah ...
Terima kasih untuk susah payahmu melahirkanku ke
dunia ini.

Kompas, Minggu, 16 Mei 2010

http://pideung-puisi.blogspot.com

Baca Selengkapnya...

1.03.2009

Lihatlah Yang Tak Terlihat

Often you just have to rely on your intuition. (Bill Gates)
Seringkali kita harus percaya (bertumpu) pada insting kita. Banyak hal di dunia ini yang memang tidak masuk akal. Banyak hal juga yang tidak seperti kelihatannya. Oleh karena itu, kita perlu melihat jauh melampaui apa yang dapat kita lihat.

Saat pasangan Anda malah tampak asyik berjalan-jalan ke mall, padahal ibunya sedang sakit keras, apa yang akan Anda pikirkan tentang dia?
Sekilas pada awalnya, Anda pasti kecewa. "Ibu sakit, kamu kok malah asyik jalan-jalan ke mall si mas..." Mungkin demikian pikiran Anda. Anda berpikir dia tidak peduli. Lalu, pikiran Anda merambat ke mana-mana dan kekecewaan terus berlanjut.

Sampai suatu kelak, Anda mendapati dia menangis tersedu-sedu di dalam mobil, sendirian. Anda baru menyadari bahwa pasangan Anda ternyata bukanlah orang yang dapat menyalurkan kesedihan dengan baik. Dia tidak tahu harus bagaimana untuk melampiaskan dukanya.
Contoh di atas hanyalah salah satu contoh bahwa apa yang terjadi kerap kali tidak seperti yang sebenarnya. Kita sebagai manusia kerap tertipu oleh mata, apa yang kita lihat dan penilaian kita sendiri.
Oleh sebab itu, seringkali kita perlu mendengar dan mempercayai hati kita, insting kita, lebih dari mata kita sendiri. Dengarkan hatimu!
Seorang bijak berkata, salah satu cara untuk mengetahui apakah tindakan kita sudah benar atau malah salah adalah melalui rasa damai.
Jika kita melakukan sesuatu dan kemudian timbul rasa sesal, bersalah, tidak enak, sedih atau perasaan negatif lainnya, maka besar kemungkinan apa yang kita lakukan itu salah. Demikian juga sebaliknya.



Baca Selengkapnya...

12.15.2008

Kejujuran

Sebagai orang yang beriman, mestinya kita harus berusaha berbuat jujur. Jujur itu dalam bahasa arabnya disebut ash-shidqu. Ash-Shidqu itu lawannya al-kadzibu (bohong). Ash-shidqu maupun Al-kadzibu adanya di dalam hati, kemudian berimbas pada perkataan dan perbuatan. Kalau ash-shidqu antara hati dan ucapan, dan perbuatan itu harus sama, sedangkan al-kidzbu, sebaliknya.


Ada bermacam-macam bentuk kejujuran, antara lain : jujur dalam hati, jujur dalam perkataan, jujur dalam kemauan, jujur dalam janji dan jujur dalam kenyataan hidup.
Pertama, jujur dalam hati (shidqu al-qalb). Artinya menghiasi hati dengan iman kepada Allah, sehingga ia bersih dari penyakit hati yang kotor. Hati yang seperti ini akan tercermin dalam niat yang tulus dan ikhlas.
Kedua, jujur dalam perkataan (shidqu al-qaul). Segala informasi yang disampaikan, pertanyaan yang diajukan, dan jawaban yang diberikan, semata-mata adalah kebenaran. Orang yang seperti ini akan dipercaya oleh siapa saja.
Ketiga, jujur dalam perbuatan (shidqu al-‘amal), termasuk dalam pergaulan (shidqu al-mu’amalah). Artinya segala perilaku sesuai dengan syari’at Islam. Dia tidak berkhianat. Dalam berbuat baik, dia tidak mengharapkan balasan, kecuali dari Allah SWT.
Keempat, jujur dalam kemauan (shidqu al-‘azam). Sebelum seseorang melakukan tindakan, maka dilakukan terlebih dahulu penilaian dan pertimbangan, kemudian diputuskan dan diniatkan untuk melakukan perbuatan tersebut. Jadi, kemauan itu dimantapkan setelah diyakini benar manfaatnya. Lalu, tidak terpengaruh oleh suara-suara orang lain yang mengomentarinya.

Kelima, jujur dalam janji (shidqu al-wa’ad). Seseorang tidak ingkar janji kepada siapapun, termasuk kepada anak kecil dan diri sendiri. Dalam surat Maryam, Allah memuji Isma’il yang suka menepati janji.
“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Isma’il (yang tersebut) di dalam al-Qur’an. Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan Nabi" (QS. Maryam [19:54].
Keenam, jujur dalam kenyataan hidup (shidqu al-hal) orang yang apa adanya dalam bersikap, berkata maupun berbuat kapanpun dan dimanapun, tidak menambah-nambah atau mengurangi karunia Allah yang diberikan kepadanya. Jadi, tidak perlu merasa malu kalau mungkin ada kekurangan dalam diri kita. Dan tidak perlu mencoba merubahnya dengan segala upaya agar tidak terlihat oleh orang lain. Kecuali pada kenyataan hidup yang ditakutkan akan menjadi beban orang lain.
Baca Selengkapnya...

Mahabbah (cinta)

Sebelum membahas pengertian mahabbah secara terminologi, perlu diungkap pengertian mahabbah menurut etimologi. Dalam pengertian terakhir, misalnya; Al-Hujwiri dalam kitabnya "Kasful Mahjub", menjelaskan makna al-hubb. Menurut riwayat, mahabbah berasal dari kata habbah yang berarti benih-benih yang jatuh ke bumi di padang pasir, sebutan hubb diartikan demikian karena cinta adalah sumber kehidupan, sebagaimana benih yang merupakan asal mula tanaman. Benih disebarkan di gurun pasir, bersembunyi di bumi, hujan turun, matahari menyinari. Namun benih itu tidak rusak oleh perubahan musim, malah tumbuh, berbunga dan memberikan buah. Demikian juga cinta, bilamana ia hadir dalam hati seseorang, ia tidak akan rusak oleh kehadiran dan ketidakhadiran, oleh senang atau susah, oleh keterpisahan maupun kesatuan.

Mahabbah dapat pula diambil dari kata hubb yang berarti sebuah tempayan yang penuh dengan air tenang, karena cinta yang telah terpadu dalam hati dan memenuhi hati, di situ tidak ada lagi ruang bagi pemikiran selain yang dicinta. Makna lain dari mahabbah, terambil dari kata hubb yang berarti empat keping kayu penyangga poci air, karena sebagai pecinta dengan suka hati menerima apa saja yang dilakukan oleh kekasihnya, berkenan atau tidak berkenan, susah maupun senang.
Disamping itu, hubb juga dapat diartikan dengan gelembung-gelembung air dan luapan-luapannya di waktu hujan lebat, karena cinta luapan hati yang menundukkan kesatuan dengan kekasih. Makna demikian diambil dari kata hubbah. Hubb juga dijadikan sebagai sebutan cinta murni.
Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulum ad-Din, membahas mahabbah secara luas. Dalam pembahasan tersebut, Al-Ghazali antara lain memberi komentar pada salah satu syair Rabi'ah tentang pembagian cinta :

Aku mencintai-Mu dengan dua model cinta
Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu
Cinta karena diriku
Adalah keadaan senantiasa mengingat-Mu
Cinta karena diri-Mu
Adalah keadaan-Mu mengungkap tabir
hingga Engaku kulihat
Baik untuk ini maupun untuk itu
Pujian bukanlah untukku
Bagi-Mu segala pujian
Leo F. Baccoqlia dalam bukunya Love menjelaskan bahwa cinta adalah semuanya dan sekaligus, keadaan gembira luar biasa, keadaan senang, fantasi, keadaan rasional atau yang tidak rasional. Cinta hadir pada setiap orang yang beradab dan merupakan proses membangun di atasnya apa yang sudah ada sebagai landasannya. Cinta adalah sebuah tindakan yang mengandung kepercayaan dan siapa saja yang memiliki sedikit kepercayaan, maka ia akan mempunyai sedikit cinta.
Cinta yang sempurna adalah yang memberikan segalanya, tidak mengharapkan apapun. Cinta sejati tidak mempunyai pamrih apapun, tidak pujian dan kebersamaan, bahkan tidak cinta itu sendiri. Pamrih hanya akan menodai ketulusan cinta. Cinta sejati hanya mendambakan kebahagiaan dan kebaikan yang dicinta.
Sampai saat ini belum diketahui dan tidak ada kata sepakat tentang pengertian cinta. Memang untuk mengetahui cinta secara definitif sangatlah sulit, kita mengetahui apa itu cinta secara instinktif, yaitu bila kita mencintai dan dicintai.
Baca Selengkapnya...

Hati dan Hati-Hati

Di saat kita nikmati kebersamaan,banyak hal terlewatkan begitu saja, keceriaan, gelak-tawa dan senyuman mengalir begitu saja
Kalo saja cerita harus ditulis dengan tetesan mata, jangan lagi air mata dikuras jadi telaga, sebab selama empat abad.... tangisan kami menjadi samudera...
Apa yang kau harapkan dari sebuah hati? Apa pula hati? Bagaimana bisa menyelami hati? Apa yang harus dihati-hatikan dari sebuah hati?



Segumpal pertanyaan singgah, bila dirasakan ada amukan sesak yang mulai sedikit-sedikit menyeruak. Pesanku sederhana, camkan dalam hati, agar tidak salah dalam melangkah.
Jangan sembarangan berjanji. Kalau tak yakin bisa memenuhinya. Karena janji bisa sebau kentut. Angin busuk dari perut yang memualkan siapa saja. Dan janji yang terbengkalai adalah sampah. Siapa yang mau sampah?
Apa wacana hari ini? Apa alasan yang bisa diciptakan lagi untuk menyamarkan janji? Sadarkah setiap alasan adalah kentut-kentut baru yang semakin lama semakin mengotori udara?
Dan hati bisa semakin mengeras bila terus dihembusi dengan kentut-kentut janji yang tak kunjung ditepati. Bau busuk. Tak berdaya. Beralasan terus. Satu kebohongan menutupi kebohongan yang lain begitu terus menerus, dampai kepala akhirnya harus membentur dinding. Pecah…. berdarah…. dengan otak berceceran. Dan jiwa yang melayang merana.
Cinta berakhir karena sebuah janji? Apakah tak ada pengampunan? Seperti pertobatan atau pemutihan? . Sayangnya hati bukan Yayasan atau Lembaga atau Agama. Tak ada penawaran yang ditawarkan hati. Toleransi mungkin ada. Namun tetap terbatas dan mereka menyebutnya kesabaran.

Hati-hati memperlakukan hati. Hati tak suka dibohongi. Diperkosa. Dibiarkan merana. Hati juga ingin dipercayai. Bukan untuk dicurigai. Atau ditanyakan ‘kau sebenarnya siapa?’
Tak ada kejujuran murni. Bahkan kepada istri dan anak saja tidak bisa jujur. Lalu mengapa harus memaksakan jujur pada hati? Hati punya toleransi. Tapi hati juga egois dan gampang tersakiti.
Namun hati tak bisa dibohongi. Cinta dan sayang, hati yang tahu. Bukan mulut atau mata yang merasa. Tapi hati yang merangkulnya. Lalu, bagaimana bisa kau mengelabui hati, mungkar dari janji dan sejuta alasan seperti kentut terhembus membuat hati mengeras seperti hepatities?
Camkan dengan telunjuk. tusuk dan ungkit sedikit ke atas sebatas jari. Jangan kasar, karena hati bisa tersakiti. Hati-hati sekali lagi.
"Ketahuilah bahwa sesungguhnya di dalam jasad ada segumpal daging, apabila ia baik, maka baiklah seluruh jasad, dan apabila rusak maka rusaklah jasad, itu qalb (hati nurani)." HR. Bukhori
Imam Al-Ghazali menggambarkan hati ke dalam tiga macam :
pertama, hati yang shahih (sehat), yaitu hati yang bisa menjadi salim (selamat), hati yang semacam ini yang dijanjikan akan dapat bertemu dengan Allah (QS. asy-syu'ara [26]: 88-99)
kedua, hati yang mayyit (mati) yaitu hati semacam ini yang akan menghalangi datangnya petunjuk. (QS. al-baqarah [2]:6-7 dan al-muthaffifin [83]:13-14)
ketiga, hati yang maridl(sakit) yaitu hati yang di dalamnya ada iman, ada ibadah, ada pahala tetapi juga ada kemaksiatan dan dosa-dosa (kecil/besar)
"Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami, atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang ada di dalam dada." (QS. al-Hajj [22]:46)
Baca Selengkapnya...
 

Kunjungan

Aktifitas

Uzy Ibni Muhammad Copyright © 2009 WoodMag is Designed by Ipietoon for Free Blogger Template